KIARA: Pengelolaan Perikanan Tangkap Wajib Kedepankan Investasi Dalam Negeri
|
Jakarta, Villagerspost.com – Wacana Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman Luhut Pandjaitan untuk membuka sektor perikanan tangkap di Natuna untuk investor asing, ditentang keras masyarakat sipil dan nelayan. Apalagi demi mewujudkan itu, Luhut juga mewacanakan untuk mengubah Perpres nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Jika wacana itu benar dilaksanakan, sektor perikanan tangkap yang tertutup sepenuhnya untuk investasi asing, bakal terbuka. Menanggapi wacana itu, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Parid Ridwanuddin menegaskan, Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2016 mesti menjadi acuan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Natuna.
“Debat kusir menyangkut investasi asing sebaiknya dihentikan. Karena instruksi Presiden Joko Widodo adalah meramaikan pemanfaatan sumber daya perikanan di Natuna dengan menghadirkan pelaku usaha dalam negeri,” kata Parid dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Jumat (12/8).
(Baca juga: Larang Asing, Susi Dorong Nelayan Kembangkan Usaha Perikanan Tangkap)
Sementara itu, Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim mengatakan, investasi dalam negeri ini bisa berasal dari dana yang dihimpun dari masyarakat perikanan, khususnya koperasi-koperasi nelayan. “Dengan skema bagi hasil yang adil dan transparan, niscaya pemanfaatan sumber daya perikanan di Natuna akan memberikan kesejahteraan, khususnya bagi 3.619 rumah tangga usaha penangkapan ikan di Kabupaten Natuna,” ujarnya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan juga berkewajiban untuk memberikan skema perlindungan dan pemberdayaan sebagaimana dimandatkan di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Diantaranya memastikan jaminan keselamatan dan keamanan di laut, mekanisme permodalan yang mudah dan murah bagi nelayan, jaminan tidak adanya praktik kriminalisasi terhadap nelayan, serta kemudahan fasilitas perikanan dari hulu ke hilir bagi nelayan.
Hal itulah yang semestinya dilakukan pemerintah, khususnya di Kepulauan Riau, bukan malah membuka keran investaso asing yang bisa merugikan perikanan nasional. Halim menegaskan, Beda konsep pengelolaan antara Kementerian Koordinator Kemaritiman dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai Natuna semestinya tidak perlu terjadi. “Sudah saatnya nelayan menjadi tuan rumah di lautnya sendiri,” tegas Halim.
Sebelumnya, Luhut beralasan, pihak asing boleh masuk ke sektor perikanan tangkap, khususnya di Natuna untuk memberikan kesempatan kepada investor asing ikut menggarap perikanan di kawasan Natuna yang potensinya sangat besar. Namun rencana itu terbentur Perpres 44/2016. Dalam beleid itu diatur, usaha perikanan tangkap terlarang untuk investor asing.
Lebih lanjut, beleid itu juga menegaskan, dalam investasi perikanan tangkap, modal dalam negeri harus 100% dan izin khusus dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai alokasi sumber daya ikan dan titik koordinat daerah penangkapan ikan. Karena itulah Luhut juga mewacanakan mengubah Perpres ini.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sendiri bersikap sedikit emosional terhadap wacana yang dilontarkan Luhut tersebut. Dia mengatakan, jika sektor perikanan tangkap nantinya kembali dibuka untuk asing, maka dia siap mundur dari posisi Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Kalau sampai perikanan tangkap diberikan ke asing, saya siap mengundurkan diri, karena reforming perikanan itu harus disiplin dan itu untuk kepentingan sustainability,” kata Susi. (*)
Ikuti informasi terkait perikanan tangkap >> di sini <<