KIARA: Tanggul Raksasa Solusi Palsu Atasi Banjir Rob di Pesisir Jakarta

Pemukiman nelayan di Cilincing, Jakarta Utara. Kekayaan laut Indonesia belum sejahterakan nelayan (dok. kiara)

Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai, pemerintah masih terjebak dalam solusi palsu mengatasi banjir rob di kawasan pesisir dengan menghidupkan kembali proyek tanggul laut raksasa (giant sea wall). Sekretariat Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, rencana ambisius tersebut kembali menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah masih terjebak dalam solusi palsu.

“Masyarakat pesisir teluk Jakarta tidak membutuhkan tanggul laut raksasa yang akan menutup akses nelayan terhadap ruang produksinya, yaitu laut,” kata Susan, di Jakarta, Kamis (26/1).

Menurutnya, proyek ambisius ini hanya memperlihatkan ke publik bahwa pembangunan tersebut adalah proyek “betonisasi teluk Jakarta” yang tidak memecahkan akar permasalahan. “Seharusnya dengan besarnya anggaran yang akan dikeluarkan untuk proyek ini dapat digunakan untuk peningkatan kapasitas masyarakat pesisir, pembenahan alat produksi, penataan pemukiman nelayan sesuai kebutuhan nelayan, serta memperbaiki ekosistem mangrove di Indonesia,” tegas Susan.

Seperti diketahui, pada akhir tahun 2022 lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja. Sedangkan, awal 2023 dimulai dengan digagasnya kembali proyek ambisius pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di sepanjang pesisir Teluk Jakarta.

Kembalinya proyek Giant Sea Wall disampaikan oleh Presiden Jokowi tanpa mempertimbangkan permasalahan substansi yang harus dibenahi dalam menghadapi banjir rob yang terjadi di pesisir Jakarta Utara. Proyek ambisius tersebut kembali didorong oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Jika melihat di 2015, Pemerintah melalui Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menandatangani nota kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dengan Korea Selatan dan Belanda terkait proyek NCICD. MoU terkait NCICD tersebut juga telah diperbaharui antara Indonesia dengan Belanda pada 2019 lalu. Dalam pembagian perannya, Belanda akan bertugas dalam pencarian dana, serta Korea Selatan akan merancang teknis proyek.

Berdasarkan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur-Prioritas, nilai investasi yang akan dikucurkan oleh proyek ambisius NCICD sebesar Rp5,67 triliun, sedangkan total proyeksi kebutuhan pendanaan hingga NCICD selesai adalah Rp500 triliun.

Susan mengatakan, pemerintah menganggap untuk mengatasi banjir di teluk Jakarta dan intrusi air laut dapat dilakukan dengan membangun tanggul laut raksasa. Pemerintah tidak melihat akar dari permasalahan yang menyebabkan semakin tingginya intensitas banjir rob di teluk Jakarta, hingga penyebab lajunya penurunan muka tanah di beberapa titik pesisir teluk Jakarta.

“Jika berkaca dari implementasi dan ketangguhan tanggul yang telah dibangun, terjadi beragam peristiwa seperti tanggul yang retak di berbagai titik seperti di Muara Baru, serta tanggul yang jebol seperti yang terjadi di Pantai Mutiara dan di Pelabuhan Muara Baru. Ini menjadi bukti awal bahwa tanggul laut raksasa merupakan solusi palsu,” ungkap Susan.

KIARA mencatat fakta bahwa nelayan merupakan aktor utama yang selalu dirugikan serta dikorbankan untuk berbagai proyek ambisius. Nelayan akan kehilangan akses dan kontrol terhadap ruang produksi di laut seiring berjalannya proyek tersebut. Hal lainnya, nelayan penangkap ikan, kerang serta perempuan nelayan yang mengelola hasil tangkapan suaminya akan rentan terhadap kriminalisasi jika bertentangan atau menolak rencana serta kebijakan yang telah ada.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2023) mencatat, kawasan pesisir secara alamiah lebih membutuhkan hutan mangrove sebagai pelindung alami yang dapat mereduksi ancaman gelombang tinggi. “Berdasarkan kajian yang telah kami lakukan, hutan mangrove lebih aman sebagai benteng alami pesisir karena fungsi alaminya yang mampu mereduksi gelombang hingga mampu membentuk daratan baru. Selain alami, mangrove juga lebih murah dan meminimalisir peminjaman utang Indonesia kepada negara lain dan/atau lembaga keuangan internasional,” jelas Susan

Susan mengatakan, harus diakui bahwa ruang terbuka hijau semakin minim dikarenakan alih fungsi untuk berbagai industri properti. Alih fungsi lahan hijau tersebut telah menambah kerentanan dan resiko dari kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim dan pemanasan global.

“Seharusnya aksi nyata penanaman mangrove menjadi momentum untuk kembali memperluas ruang terbuka hijau khususnya ekosistem mangrove di wilayah pesisir. Ini juga akan memberdayakan masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut, sehingga akan meningkatkan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat untuk menjaga mangrove dan ekosistem di pesisir,” tegas Susan

KIARA menilai, pembangunan NCICD di teluk Jakarta merupakan langkah tidak menyelesaikan masalah dan keliru, terutama dalam konteks mitigasi bencana. “KIARA mendesak pemerintah untuk membatalkan proyek ambisius NCICD, dan fokus terhadap 4 hal utama,” kata Susan.

Keempat hal itu pertama, penyelesaian akar permasalahan penurunan muka tanah teluk Jakarta beserta perubahan iklim dengan dampaknya. Kedua, merestorasi ekosistem mangrove di teluk Jakarta. Ketiga, perlindungan ruang kelola (produksi) nelayan, baik laut maupun darat disertai kebijakan teknis perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Keempat, menjalankan pemenuhan dan perlindungan hak konstitusional masyarakat pesisir sesuai Putusan MK No. 3 Tahun 2010.

“Pemerintah juga harus menghentikan pemberian izin dan pembangunan yang mengubah ruang terbuka hijau menjadi pusat perbelanjaan atau pun bangunan lainnya karena perubahan ruang ini yang memperburuk kondisi banjir di Jakarta,” pungkas Susan.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.