Kisah Inspiratif Penyintas Tsunami (I)

Nurbaiti Menjahit Pakaian Pesanan Tetangganya (Jim Holmes/Oxfam)
Nurbaiti Menjahit Pakaian Pesanan Tetangganya (Jim Holmes/Oxfam)

Jakarta, Villagerspost.com – Bencana besar tsunami yang melanda Provinsi Aceh, pada 26 Desember 2004 atau sepuluh tahun lalu itu, masih membekas kuat di benak Nurbaiti (48). Trauma akan kedahsyatan bencana dan juga pedihnya perasaan ditinggal orang-orang terkasih yang direnggut gelombang tsunami masih sulit untuk dilupakan. Begitu pula yang dirasakan oleh suaminya saat ini, Hagi Muhammad Dahlan (69).

“Kami telah berkembang dan beranjak, tetapi saya masih suka mengingat kejadian itu dan merasakan trauma akan kejadian hari itu. Kami berdua masih sering takut untuk pergi ke pantai dan laut, tetapi anak perempuan kami dan orang-orang seusianya banyak menghabiskan waktu di sana,” kata Nurbaiti dalam surat elektronik yang diterima redaksi Villagerspost.com, Senin (22/12).

Nurbaiti mengaku, masih sangat takut ketika terjaid gempa bumi. “Setiap kali ada guncangan besar, kami langsung mengevakuasi diri dan pergi menuju perbukitan atau sepanjang jalan menuju bandara,” sambungnya.

Kampung tempat tinggal Nurbaiti dan Hagi di Lampuuk, Aceh Besar memang terdampak sangat hebat oleh bencana tsunami. Wilayah yang merupakan daerah pantai yang indah dan menjadi salah satu tempat wisata andalan di Aceh itu, porak poranda diterjang gelombang tsunami.

“Daerah ini sangat terdampak, mungkin yang paling buruh di Aceh. Semua perumahan dan segalanya musnah kecuali masjid,” ujar Nurbaiti.

Di hari kejadian, Nurbaiti dan bersama putrinya tengah menghadiri acara pernikahan di luar kota, sehingga dia tidak mengalami langsung bencana itu. Hanya saja firasat buruk bahwa sesuatu tengah terjadi di kampungnya sempat dia rasakan.

“Sepanjang malam anak perempuan saya mulai menangis, dia bilang ingin pulang secepatnya ke kampung. Kami bangun pagi berikutnya dan berencana untuk pulang lebih awal dan kami sedang sarapan ketika gempa bumi besar dan gelombang tsunami menghantam, katanya.

Nurbaiti dan putrinya akhirnya tertahan di luar kota selama seminggu karena tidak memungkinkan untuk kembali ke kampungnya. “Saya tidak pernah tahu apakah suami saya selamat. Kami tidak pernah menemukan jenazahnya. Ibu saya juga meninggal dunia. Semuanya hilang. Bagi kami itu masih menyakitkan,” ujarnya.

Hanya saja, bagi Nurbaiti dan Hagi, kehidupan memang harus terus berjalan. Nurbaiti yang kehilangan suami dan Hagi yang kehilangan istrinya, akhirnya memutuskan untuk menikah setahun setelah bencana berlalu. Mereka berdua memutuskan untuk tetap tinggal di Lampuuk.

Nurbaiti mengingat, kehidupannya bersama warga desa lainnya mulai berubah dengan hadirnya bantuan dari berbagai pihak termasuk Oxfam. Dia mengingat, di tengah suasana porak poranda di kampung itu, bertemu dengan tim dari Oxfam.

“Saya ingat, Oxfam datang ke sini dan melatih kami berdelapan (perempuan) untuk bertanam jamur sehingga kami bisa menghasilkan uang dari menjual jamur ke pasar. Jamur yang kami jual berkualitas tinggi sehingga orang-orang mau membelinya,” kata Nurbaiti.

Sayang memang proyek itu tak lagi berjalan lantaran para perempuan yang terlibat dalam proyek itu semakin menua dan bibit jamur yang mereka miliki sudah tak sebagus dulu. Tetapi bagi Nurbaiti, proyek itu tetap bermakna karena telah mengajarkan mereka untuk mandiri dan menghasilkan uang di situasi pasca bencana. Hagi, suaminya kini masih memiliki sebidang lahan perkebunan yang menghasilkan cengkeh dan durian untuk menambah penghasilan keluarga.

“Ada banyak proyek pelatihan dan kami melakukan banyak hal, seperti membuat kue, menjahit. Sebelum bencana tsunami saya sudah bisa menjahit dan memiliki mesin, tetapi Oxfam memberikan pelatihan dan memberikan mesin jahit kepada kaum perempuan di kampung ini untuk membuat pakaian. Saya mendapatkan penghasilan dari menjahit. Saya banyak menerima orderan dari sekolah, rumah sakit dan pabrik semen untuk seragam,” kata Nurbaiti.

Dari pekerjaannya itu, dia bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp1,2 juta sebulan. Hanya saja pekerjaan membuat seragam bagi Nurbaiti kurang menantang jiwa kreatifnya. Karena itu dia juga membuat baju dengan desainnya sendiri.

“Saya bekerja dengan mesin jahit selama sekitar 4 jam sehari, tetapi ada kalanya ketika saya harus memenuhi order saya harus bekerja seharian. Saya sangat senang membuat desain saya sendiri untuk di rumah, dan orang-orang lain di desa. Saya menghasilkan banyak uang dari membuat baju untuk para perempuan di desa, saya bisa menghasilkan Rp1,5 juta sebulan dari pekerjaan ini, kata Nurbaiti.

Namun dari sekian banyak manfaat yang dia rasakan dari bantuan Oxfam adalah soal penyediaan air bersih. “Tentunya sangat bermanfaat memiliki fasilitas air bersih di rumah untuk memasak dan mencuci,” ujarnya.

Nurbaiti biasa mengisi mesin cucinya dengan air dan mencuci baju-baju kotor memanfaatkan fasilitas listrik di desanya. Dia juga menggunakan fasilitas air bersih itu untuk menyiram tanaman di di halaman belakang rumahnya.

Hagi juga mengaku senang dengan instalasi air bersih yang disediakan pihak Oxfam di desanya. “Oxfam memasang instalasi air bersih setelah rumah kami rampung dibangun tahun 2007. Instalasi itu bekerja dengan baik, tetapi ada kalanya kami tak mendapatkan suplai air yang baik setelah turun hujan lebat dan sistem dimatikan supaya tidak berlumpur, tetapi secara umum, itu bekerja sangat baik. Bak tampungan air ada di atas bukit di dalam hutan sekitar 2 kilometer,” kata Hagi.

Oxfam, kata Hagi yang juga merupakan kepala desa di Lampuuk, juga memasang sistem serupa di 720 rumah lainnya di lima desa. Selain sistem pengairan, turut dibangun pula 5 mushala, dua sekolah dan masjid. Warga pun turut memelihara instalasi air bersih itu bersama-sama.

Pernah suatu ketika instalasi itu rusak akibat gempa, dan banyak pipa yang rusak. Masyarakat pun, kata Hagi, bersama-sama memperbaiki pipa-pipa yang rusak itu. Untuk pemeliharaan, setiap warga pun dikenakan semacam iuran. “Setiap rumah di lima desa membayar Rp1000 per bulan ke komite air dan kami menggunakannya untuk biaya perbaikan dan menjaga sistem tetap berjalan,” kata Hagi. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.