Kisah Inspiratif Penyintas Tsunami (II)

Arie dan Rahmat, berpose bersama setelah 10 tahun lalu mengalami bencan tsunami (Jim Holmes/Oxfam)
Arie dan Rahmat, berpose bersama setelah 10 tahun lalu mengalami bencan tsunami (Jim Holmes/Oxfam)

Jakarta, Villagerspost.com – Guncangan gempa yang cukup kuat beberapa waktu lalu di Banda Aceh, turut mengguncang ingatan Gifari Jakawali (20) akan peristiwa sepuluh tahun lalu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004. Arie–begitu Gifari biasa disapa–saat itu baru berusia 10 tahun, ketika bumi Aceh diguncang gempa berkekuatan dahsyat. Guncangan hebat yang kemudian disusul oleh hantaman gelombang tsunami yang memorakporandakan bumi Serambi Mekah itu.

“Kami melihat limpasan air menuju ke arah kami, menghancurkan kolam ikan dan mendatangi kami. Kami tahu kami harus segera mencapai masjid secepat mungkin dan kami berhasil, kami sangat beruntung,” kata Arie mengisahkan pengalaman suram sepuluh tahun lalu itu, lewat surat elektronik yang diterima Villagerspost.com, Rabu (24/12).

Saat gelombang tsunami menghantam, ayah Arie tengah bekerja di pabrik semen. Arie dan keluarganya melarikan diri dari ancaman gelombang raksasa tanpa mengetahui apakah ayahnya selamat atau tidak. Beruntung ternyata ayah Arie selamat. “Kami bertemu dengannya dua hari kemudian,” ujarnya. Keluarga Arie harus tinggal di atas bukit selama empat hari hingga situasi dirasa aman untuk turun.

Pengalaman traumatik sepuluh tahun lalu itu juga dialami sepupu Arie yang bernama Rahmat. Saat itu, Rahmat baru berusia 6 tahun. Ketika guncangan gempa terjadi, Rahmat tengah asyik menikmati tayangan film kartun Doraemon di televisi.

“Gempa bumi bergemuruh seperti suara kapal besar yang datang ke arah kami. Ayah saya pergi ke luar rumah untuk melihat apa yang terjadi dan kami mendengar suara yang memekakkan telinga seperti bom besar datang dari arah laut,” kata Rahmat.

Sejurus kemudian, ayah Rahmat melihat orang-orang melarikan diri dari arah pantai menuju ke kendaraan mereka masing-masing. “Ketika kami meninggalkan rumah kami, saya hanya mengenakan pakaian dalam dan masih memegang remote televisi. Kami bergegas masuk ke mobil. Saya ingat melihat ke belakang ke arah masjid dan melihat limpasan air telah mencapai daerah itu. Semua kelapa telah lepas dari pohonnya. Kami menuju ke Banda Aceh tetapi tetangga kami mengatakan situasi di sana buruk jadi kami berubah pikiran dan pergi menuju ke masjid di bukit,” kata Rahmat.

Kisah Arie dan Rahmat yang selamat dari amukan tsunami yang melanda kampungnya di Lampaya–sebuah desa nelayan kecil di Aceh– merupakan simbol dari kisah jutaan orang penyintas bencana tsunami tanggal 26 Desember 2004 lalu.

Bencana tsunami yang melanda kawasan pesisir di beberapa negara di sekitar samudera Hindia itu memang sangat dahsyat. Sejumlah 230.000 orang tewas dan 1,7 juta jiwa lainnya harus diungsikan. Di hari-hari pertama pasca kejadian, sekitar 5 juta orang di 14 negara, membutuhkan bantuan kemanusiaan termasuk makanan, air, tempat tinggal.

Bencana tsunami menjadi tantangan yang unik bagi banyak agensi kemanusiaan. Tugas dari sektor kemanusiaan setara dengan membangun kembali kota bependuduk jutaan orang. “Setelah dua bulan, masyarakat dari seluruh Indonesia dan agensi internasional datang ke desa kami untuk menolong kami membersihkan reruntuhan, memindahkan jenazah yang bertebaran di jalan dekat rumah kami,” kata Arie.

Kini situasi telah berubah. Dengan bantuan berbagai pihak, kata Arie, Aceh sudah semakin membaik. “Kami pikir kami bisa mendapatkan kehidupan yang baik di sini, kami membangun kembali komunitas kami,” ujarnya.

Keluarga Arie misalnya, cukup beruntung mendapatkan bantuan instalasi air bersih dan sanitasi serta pembangunan rumah dari Oxfam.  Arie yakin pengalaman di masa lalu telah menuntun mereka untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Arie dan Rahmat membuktikan kemampuan daya lenting dan mereka seperti yang lainnya beradaptasi dengan baik dan melanjutkan kehidupan mereka terlepas dari bencana tsunami sepuluh tahun lalu. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.