Kisah Kisruh Pupuk Bersubsidi di Flores Timur

Fransiskus Sere Liwu, petani dari Desa Boru, Flores Timur, mengisahkan kisruhnya program pupuk bersubsidi di Flores Timur (dok. villagerspost.com)

Larantuka, Villagerspost.com – Program audit pupuk bersubsidi yang dilaksanakan Oxfam bersama Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengungkapkan adanya persoalan akut dalam soal distribusi pupuk bersubsidi yang sangat menyulitkan petani di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Persoalan utamanya adalah jauhnya jarak lokasi distributor pupuk bersubsidi dengan lokasi pengecer yang bisa dijangkau para petani. Persoalan kedua adalah ketidaktahuan petani akan adanya program pupuk bersubsidi itu sendiri.

Terkait masalah distribusi, persoalannya adalah keberadaan distributor pupuk bersubsidi yang berada di Kota Ende, yang berjarak kurang lebih 300 kilometer dari Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur. Sementara petani seperti Fransiskus Sere dari Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang, harus menempuh jarak sejauh 60 kilometer untuk bisa membeli pupuk di Larantuka yang merupakan lokasi pengecer terdekat.

Itupun, kata Frans, petani kerap kecewa, karena dengan pengetahuan yang minim soal program pupuk bersubsidi, mereka seringkali gagal mendapatkan pupuk yang dibutuhkan gara-gara tak memiliki dokumen Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) pupuk bersubsidi. Dia berkisah, selama tahun 2015-2016 petani yang tidak menyusun RDKK sama sekali tidak mendapatkan pupuk.

“Dulu kami bisa beli bebas di toko, tapi sejak adanya penertiban penyaluran pupuk, kami yang tidak susun RDKK terpaksa pasrah atau tidak menggunakan pupuk. Toh, hasil cukup baik berkat endapan tanah yang dibawa air hujan. Produksinya cukup baik dan hampir sama dengan mereka yang menggunakan pupuk bersubsidi,” kata Fransiskus Sere kepada Villagerspost.com, yang menemuinya, Rabu (23/11).

Tentang penyusunan RDKK, menurut mereka, ini memang kelalaian mereka sendiri yang tidak mengindahkan permintaan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) untuk mengisi RDKK. Meski begitu, kata dia, hal ini terjadi karena mereka juga minim bimbingan dalam menyusun RDKK sehingga tidak mengerti bagaimana cara menyusunnya.

Alhasil, ketika musim tanam tiba, pada saat mereka hendak membutuhkan pupuk, mereka tidak bisa mendapatkan pupuk dari pengecer karena pengecer membutuhkan dokumen RDKK. Petani yang sudah menempuh perjalanan dari desa ke kota Larantuka yang jaraknya 60 km pun, terpaksa pulang dengan tanpa membawa pupuk.

“Hasil akhirnya mereka pasrah saja pada kemurahan alam. Uang ongkos pulang pergi dari kampung ke kota Larantuka pun sia-sia. Pupuk tak dapat uang transportasi sia-sia,” katanya.

Hasil audit pupuk bersubsidi mengungkapkan kondisi seperti ini tidak hanya dialami petani di Desa Boru saja. Kasus serupa ditemukan di delapan kecamatan di Kabupaten Flores Timur, belum termasuk untuk petani di wilayah Pulau Solor dan Adonara.

Menyikapi kondisi ini, petani yang ditemui Villagerspost.com, di Desa Hewa dan Boru yang sebagian besar adalah petani lahan basah (sawah) mengharapkan pihak desa mengambil alih peran untuk mengatur distribusi pupuk bersubsidi melalui, BUMDes untuk menjadi pengecer. Misalnya untuk lima desa di Kecamatan Wulanggitang dan tujuh desa di Kecamatan Ilebura, mereka berharap BUMDes menjadi pengecer pupuk bersubsidi.

Ketika Desa Boru Kedang berencana menjadikan desanya sebagai pilot project pengecer pupuk bersubsidi, langsung disambut senang oleh para kepala desa dan warga desa. Kepala Desa Ilebura Asis Muda mengungkapkan, akan lebih mudah bagi warga desanya ke Boru beli pupuk daripada harus jauh ke Larantuka.

Untuk sementara, karena belum ada BUMDes, tanggung jawab menjadi pengecer ini berada di tangan Koperasi Unit Desa Ilemandiri. KUD Ilemandiri sebagai pengecer tunggal untuk melayani kebutuhan petani di delapan kecamatan: Kecamatan Laratuka, Kecamatan Ilemandiri, Kecamatan Tanjung Bunga, Kecamatan Demon Pagong, Kecamatan Titehena, Kecamatan Ilebura, Kecamatan Wulanggitang dan Kecamatan Lewolema.

Itupun, hingga saat ini, KUD Ilemandiri Larantuka belum mampu memenuhi kebutuhan pupuk untuk petani lebih disebabkan karena jangkauan yang jauh dengan distributor. Lebih dari itu, seperti dikatakan Manager KUD Ilemandiri Lukas Olak Tukan, persoalan distribusi juga muncul akibat pengusulan RDKK yang sering terlambat diusulkan petani.

Pernah di tahun 2015, sebagian pupuk yang didatangkan terlambat tiba di di gudang KUD Ilemandiri, berakibat pada tidak terpakainya pupuk itu oleh petani. “Pupuk tiba di gudang, musim penggunaan oleh petani sudah lewat. Akibatnya KUD rugi karena modal pembelian pupuk tidak kembali karena pupuk tidak dimanfaatkan petani,” demikian ungkap Lukas Olak Tukan.

Di sisi lain, untuk mendirikan pengecer hingga ke tiap desa juga sulit karena ada pada faktor kepercayaan apakah bisa berjalan baik. Soal persentase belum bisa dipastikan, intinya adalah bahwa mayoritas warga adalah petani dan mereka membutuhkan pupuk.

Petani-petani di lokasi audit sosial pupuk bersubsidi secara rutin bercocok tanam pada lahan dengan luas rata-rata masing petani dari 0,5 ha-1 ha. Mereka biasanya menanam padi, jagung, dan ada yang sudah mulai membudidayakan kedelai. Pada umumnya, usaha yang dilakukan untuk tujuan konsumsi, belum berorientasi bisnis.

Tentang pupuk, biasanya lebih dibutuhkan oleh petani yang mengelola lahan basah/sawah tadah hujan. Petani lahan kering tidak pernah tahu adanya kebijakan pupuk bersubsidi. “Selama ini ketika pupuk habis memang belum ada usaha meminta petani mengusahakan sendiri terlebih untuk pupuk non subsidi. Pengiriman dari distributor kadang terlambat jauh. Ketika ditelepon alasannya adalah karena cuaca dan medan tempuh dari Ende ke Larantuka yang sangat jauh. Petani hanya bisa mengeluh dan pasrah pada nasib,” ujar Lukas.

Ruwetnya prosedur mendapatkan pupuk bersubsidi dan juga kompleksnya permasalahan distribusi, memang membuat petani seperti Alex Liwu, seorang petani lahan kering di Dusun Podor, Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang hanya bisa pasrah, “Sejak jadi petani, saya belum pernah pakai pupuk, apalagi pupuk bersubsidi. Agar hasil produksi baik maka kami kerja ladang secara berpindah. Ladang kami kerja hanya selama tiga tahun. Setelah itu kami pindah, dan kalau sudah kembali menjadi belukar dan tanahnya sudah subur kembali, kami kembali kelola di lahan itu,” ujarnya.

Laporan/Foto: Tim Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan di Flores Timur

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.