KNPA Desa Pemerintah Cabut Izin PTPN Yang Merampas Tanah Rakyat

Jakarta, Villagerspost.com – Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mendesak pemerintah mencabut izin PT Perkebunan Nusantara yang merampas tanah rakyat. Desakan ini merupakan respons atas kasus pencurian tiga tandan sawit senilai Rp76.500, yang dilakukan oleh warga Desa Tandun Barat, Kecamatan Tandun, Kabupaten Rohul, Riau yang bernama Rica, Selasa (2/6) lalu, yang diproses oleh PTPN V Riau.
“Kasus ini tidak bisa dilihat sebagai kasus pencurian biasa. Kasus ini mencerminkan situasi ketimpangan dan kemiskinan yang dialami masyarakat terlebih perempuan, di mana kehadiran PT Perkebunan Nusantara tidak lantas memberikan kesejahteraan pada masyarakat sekitar,” kata Nisa Anisa dari Solidaritas Perempuan dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Rabu (10/6).
Seperti diketahui, Rica, divonis bersalah lantaran mencuri tiga tandan buah sawit. Dalam persidangan, Rica mengaku terpaksa mencuri karena tidak punya uang untuk membeli beras. Rica kemudian dikenakan pidana penjara selama 7 hari dengan masa percobaan 2 bulan. Artinya jika dalam 2 bulan Rica mengulangi perbuatannya, maka Rica akan langsung ditahan selama 7 hari.
Selain itu, Pengadilan Negeri (PN) Pasirpangaraian yang menyidangkan kasus ini juga membebankan biaya perkara kepada Rica sebesar Rp2 ribu. Barang bukti berupa tiga tandan buah sawit senilai Rp76.500 dikembalikan ke PTPN V. Barang bukti lainnya, yaitu egrek–alat yang digunakan untuk mengambil sawit– dikembalikan kepada Rica.
“Dalam kasus ini kita juga menyaksikan betapa hukum di Indonesia tumpul ke atas, tajam ke bawah dan mengkhianati rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum lebih cepat menindak masyarakat dibandingkan kejahatan korporasi termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” tambahnya.
Nisa mengatakan, banyak BUMN yang keberadaannya justru seringkali merugikan masyarakat, bahkan menimbulkan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami oleh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Permasalahan itu, diantaranya, PTPN seringkali menggunakan tanah yang selama ini dikelola dan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat, sehingga terjadi penggusuran dan pengambilalihan tanah, yang disertai pendekatan militeristik, dan kekerasan.
“Kriminalisasi yang dialami oleh Ibu Rica hanyalah salah satu dari ribuan kasus yang ditimbulkan persoalan akibat karut-marut pegelolaan PTPN selama ini. Ketimbang memberikan keuntungan bagi negara dan kesejahteraan bagi rakyat, keberadaan PTPN Indonesia justru terus menerus melahirkan konflik agraria, perampasan tanah-tanah masyarakat,” jelas Nisa.
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan beberapa pelanggaran yang dilakukan PTPN. Di Sumatera Selatan, PTPN VII Cinta Manis, melakukan akitivitas perkebunan tebu secara illegal selama 13 tahun, dimana PTPN VII mulai melakukan aktivitas perkebunan sejak 1982, padahal SK HGU baru keluar pada bulan Agustus 1995. Di Sulawesi Selatan, PTPN XIV, sejak tahun 1980-1983, telah mengambilalih tanah masyarakat dan dijadikan lahan perkebunan tebu. Pemerintah dan pihak perusahaan saat itu, menjanjikan akan mengembalikan tanah setelah 25 tahun, saat masa HGU selesai, namun sampai sekarang tanah masyarakat masih dikuasai oleh pihak PTPN XIV, dan dokumen HGU tidak pernah diperlihatkan pada masyarakat.
“Bahkan di masa pandemi ini, intimidasi dan penggusuran yang dilakukan oleh PTPN terus berlangsung,” kata Benni Wijaya dari KPA. Di Desa Uraso, Mappadeceng, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, PTPN XIV mengeluarkan surat edaran meminta petani meninggalkan tanah pertanian dan kampung mereka. Sementara di Ciamis, tiga orang petani dikriminalisasi oleh PTPN VIII dengan tuduhan pencurian di lahan mereka. Padahal, HGU perusahaan telah habis sejak 2010.
Selain itu, proses penyelesaian konflik di atas tanah-tanah PTPN terus mengalami kemandegan. Sejak 2017, Konsorsium Pembaruan Agraria telah menyerahkan data konflik agraria melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) di Indonesia seluas 665.987 hektare. Setengah dari data tersebut, atau seluas 329.153 hektare yang melibatkan 97.260 KK petani dan masyarakat adat di 225 kampung dan desa, berkonflik dengan BUMN (PTPN dan Perhutani). “Namun tidak satupun yang dapat diselesaiakan oleh pemerintah sejauh ini,” jelas Benni.
Di sisi lain, letusan konflik terus terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 2019 saja, sedikitnya terdapat 26 letusan konflik agraria di sektor perkebunan yang disebabkan klaim dan penguasaan PTPN di wilayah garapan dan pemukiman masyarakat.
Perampasan tanah yang dilakukan PTPN telah menyebabkan masyarakat kehilangan sumber kehidupan mereka. Masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani, kehilangan tanah, dan terpaksa beralih profesi menjadi buruh perkebunan dengan pendapatan minim, keselamatan kerja tidak memadai, serta rentan mengalami pelecehan bagi buruh perempuan, mengingat lokasi buruh bekerja biasanya berada di tempat terpencil, yang jauh dari keramaian.
Situasi ini diperparah dengan situasi Pandemi Covid-19 ini, yang membuat mereka semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk keluarga, karena harga kebutuhan pokok semakin naik, akibat terbatasnya mobilisasi pengangkutan/pengiriman bahan-bahan pokok ke pelosok-pelosok dimana wilayah perkebunan PTPN ini berada. Di sisi lain bantuan sosial pemerintah belum semua menjangkau masyarakat marginal yang terdampak Covid-19.
Dalam situasi ini, perempuan karena peran gendernya mengalami beban berlapis, karena dianggap bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga, salah satunya kebutuhan pangan keluarga. “Perempuan akan melakukan berbagai cara agar makanan dapat tersaji di meja makan, baik dengan berhutang ke warung, atau mengalah tidak makan, dan lebih mendahulukan pemenuhan pangan untuk anak dan suaminya,” papar Nisa.
Berbagai kejahatan yang dilakukan PTPN tidak pernah ditindak secara hukum. Respon negara terhadap pengaduan dan perjuangan masyarakat, terjebak pada hal-hal yang bersifat formil administratif, tanpa melihat fakta real dilapangan. Bahkan, negara kerap membiarkan PTPN melakuan tindak kekerasan menghadapi perlawanan masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Mereka melakukan intimidasi, kriminalisasi, menyebar teror, maupun tindak kekerasan fisik yang menyebabkan masyarakat mengalami luka-luka, trauma, bahkan menyebabkan kematian.
Salah satunya yang terjadi di Ogan Ilir, pada tahun 2012 di mana bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat berujung pada penembakan aparat yang menyebabkan seorang anak meninggal dunia. Sedangkan di Takalar pada tahun 2013, dalam sebuah bentrok antar warga dan perusahaan, seorang warga terkena tembakan polisi di paha kanannya karena berusaha menghentikan aktivitas Perusahaan. Peristiwa penembakan dan kekerasan tersebut juga membuat perempuan dan anak mengalami trauma yang berkepanjangan.
Kerusakan lingkungan juga menjadi permasalahan serius yang ditimbulkan oleh PTPN. Berdasarkan data Solidaritas Perempuan Pelembang dan Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, menemukan bahwa di Ogan Ilir dan Takalar proses pembakaran tebu kering pasca panen berdampak polusi udara dan membuat masyarakat mengalami sesak nafas akibat pekatnya asap. Selain itu, pembuangan limbah yang dilakukan oleh PTPN VII Cinta Manis ke sungai membuat air tercemar menjadi kuning dan menyebabkan ikan mati, sehingga masyarakat lagi-lagi kehilangan sumber pangannya. PTPN yang merupakan perusahaan milik pemerintah seharusnya memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat.
Namun yang terjadi PTPN malah menimbulkan masalah bagi masyarakat. “PTPN selaku BUMN tidak hadir untuk negeri, melainkan untuk merampas sumber kehidupan dan meminggirkan masyarakat,” kata Wahyu Perdana dari Walhi.
Dengan situasi tersebut, pemerintah bukannya melakukan evaluasi terhadap keberadaan PTPN, namun malah semakin memperkuat PTPN dengan memberikan berbagai kemudahan, seperti memberikan bantuan dana sebesar Rp4 triliun di masa Pandemi COVID 19 ini. Karena itulah KNPA mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap PTPN, dengan mereview perizinan/alas hak PTPN, melakukan audit berkala, dan mencabut izin PTPN yang telah terbukti melakukan pelanggaran.
KNPA juga mendesak pemerintah menyelesaikan konflik agraria antara PTPN dengan masyarakat dan mengembalikan tanah-tanah masyarakat yang dirampas oleh PTPN. “Segera jalankan reforma agraria di atas tanah-tanah klaim PTPN yang sudah digarap oleh rakyat,” tegas Benni.
KNPA juga mendesak dihentikannya pendekatan militerisme kepada masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah mereka. Mengawal dan memastikan bantuan sosial dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan, termasuk di kawasan wilayah PTPN, yang seringkali berada di bawah garis kemiskinan, sehingga tidak menyebabkan masyarakat melakukan tindak pidana demi memenuhi kebutuhan hidupnya..
Pemerintah juga didesak untuk menerapkan Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dengan mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-diskriminasi. “Termasuk dengan mengidentifikasi ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara di dalam fakta persidangan,” tegas Nisa.
Editor: M. Agung Riyadi
Related Posts
-
Siaga Covid-19, Desa Kalensari Indramayu Berlakukan Lockdown
No Comments | Mar 28, 2020 -
Dongkrak Nilai Jual Ikan, KKP Gelar Klinik Mutu Perikanan
No Comments | Sep 15, 2019 -
Indonesia Tolak Klaim AS Soal Kerugian Rp5 Triliun Terkait Sengketa Dagang Produk Hortikultura
No Comments | Aug 9, 2018 -
TN Bunaken Gelar Pelatihan Selam untuk Kelompok Masyarakat Binaan
No Comments | Jul 31, 2018