KNTI: Hapus Perbudakan di Kapal Perikanan

Para anak buah kapal (ABK) asing di Benjina. (dok. kkp.go.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak agar perbudakan di atas kapal perikanan segera dihapus. Karena itu, bertepatan dengan peringatan Hari Pekerja Migran Dunia 2017, KNTI meminta pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 tahun 2007 (KILO 188).

“Ratifikasi KILO 188 ini akan memberikan perlindungan kepada sekitar 18.450 nelayan ABK kapal perikanan diluar negeri. KILO 188 ini juga akan dapat melindungi sekitar 2,7 juta warga negara Indonesia yang bekerja di sektor perikanan sebagai nelayan (ABK, Nakhoda, ahli pancing) di laut pada 550,000 kapal ikan,” kata Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (18/12).

Dengan ratifikasi konvensi tersebut, kata Marthin, pekerja perikanan dan nelayan Indonesia akan memiliki standar perlindungan yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha yang mempekerjakan pekerja perikanan dan nelayan yang bekerja diatas kapal skala-industri termasuk nelayan dengan kapal tradisional skala-kecil. Ini akan mencegah terjadinya kasus-kasus tragis yang dialami para pekerja di atas kapal perikanan.

“Salah satu kasus tragis adalah meninggalnya Supriyanto seorang nelayan migran asal Tegal, yang tewas akibat disiksa dan diperbudak di atas kapal perikanan berbendera Taiwan. Kasus Supriyanto merupakan contoh fenomena gunung es perlindungan nelayan ABK Kapal Perikanan,” papar Marthin.

Dia mengatakan, setidaknya terdapat lima bentuk kasus utama yang dihadapi oleh nelayan ABK perikanan meliputi: (i) sengketa ketenagakerjaan, (ii) penyelundupan manusia, (iii) traficking in Persons, (iv) illegal fishing hingga (v) penyalahgunaan narkoba.

Beberapa akar masalah yang diidentifikasi empat penyebab utama yaitu: 1. Kewenangan yang tumpang tindih antara kementerian dan lembaga ditambah dengan tidak berjalannya koordinasi antar institusi pemerintah; 2. Pengawasan yang lemah karena sektoral dan terpisah; 3. Pemahaman mengenai konsep dan konteks Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), kerja paksa dan prinsip-prinsip dan hak mendasar di tempat kerja; dan 4. Kerangka hukum internasional yang lemah.

Indonesia, kata Marthin, telah memiliki kebijakan penting namun belum cukup kuat melindungi nelayan ABK Kapal Perikanan. Dalam UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, setidaknya terdapat empat ketentuan yang penting untuk melindungi pekerja perikanan Indonesia. Terakhir pengakuan terhadap pekerja migran di sektor perikanan: “Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan” dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

“Namun, diperlukan ketentuan dan standar internasional yang mengikat negara anggota yang menjadi pelabuhan kapal industri perikanan internasional. Ketentuan tersebut untuk memberikan perlindungan kepada nelayan yang bermigrasi sebagai pekerja perikanan diatas kapal perikanan berbendera asing dan beroperasi di perairan diluar yurisdiksi teritorial Indonesia,” papar Marthin.

KILO 188 merupakan jawaban kebutuhan tersebut dengan ketentuan yang setidaknya mencakup 14 bagian peraturan dan syarat nelayan pekerja perikanan diatas kapal. Selain itu dengan meratifikasi KILO 188 yang telah berlaku mengikat sejak 17 November 2017, akan memperkuat perlindungan di setiap negara anggota KILO 188 dimana kapal nelayan ABK asal Indonesia berlabuh yang harus memenuhi standar KILO 188.

“Oleh karena itu dalam peringatan hari pekerja migran sedunia 2017, KNTI menilai penting untuk mendorong negara segera meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007 sebagai bentuk konkret negara melindungi nelayan Indonesia yang beraktivitas di perairan nasional maupun yang bermigrasi keluar negeri,” pungkasnya. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.