KNTI: Pelibatan Asing dalam Pengusahaan Pulau-pulau Kecil Remehkan Modalitas Domestik
|
Jakarta, Villagerspost.com – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyayangkan rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melanjutkan pelibatan asing dalam pengusahaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Ketua Umum KNTI Riza Damanik mengatakan, secara mutlak keputusan ini bertentangan dengan Putusan MK terkait uji materi atas UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Rencana ini juga bertentangan dengan visi-misi maupun 9 Janji Perubahan alias Nawacita Jokowi JK,” kata Riza kepada Villagerspost.com, Jumat (17/4)
Menurutnya, investasi asing di pulau kecil itu ibarat narkoba. “Sekali di mulai akan terus ketagihan hingga meluas keseluruh kepulauan Indonesia,” ujarnya.
Berawal dari empat pulau, di akhir 2015 direncanakan dibuka 100 pulau lagi, berikutnya ditambah 300 pulau, terus berlanjut sampai tak ada ruang tersisa bagi tumbuh kembangnya ekonomi rakyat. Dalam jangka pendek, rezim ini akan terlihat berhasil membangun.
“Tetapi dalam jangka panjang hanya akan merugikan bangsa. Inilah disebut ilusi pembangunan,” tegas Riza.
Pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, menurut dia, seharusnya menjadi momentum untuk melibatkan pemodal dalam negeri. “Saatnya BUMN, BUMD, koperasi, maupun unit usaha nasional lain menjadi tuan rumah dalam pengusahaan pulau-pulau kecil. Toh, kebutuhan investasi di pulau-pulau kecil tidak selalu besar dan masih mungkin dibiayai oleh modal domestik,” ujar Riza.
KNTI menilai, ada tiga indikasi yang menambah bobot ketidakrelevan keterlibatan investasi asing dalam pengusahaan pulau-pulau kecil di Indonesia hari ini. Pertama, fakta bawah instrumen pengawasan laut Indonesia belum berjalan efektif.
“Kasus Benjina seharusnya menjadi pelajaran buruk bahwa investasi asing di daerah remote area, semacam pulau kecil adalah ancaman serius terhadap pertahanan, keamanan, maupun kedaulatan dalam segala aspek ke depannya,” kata Riza.
Kedua, belum sinkronnya prioritas pengaturan ruang laut antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, nelayan, masyarakat adat, maupun masyarakat lokal. Ketiga, sejatinya pembiayaan investasi perikanan, peternakan, konservasi, dan lain lain di pulau kecil bukanlah ongkos yang teramat besar.
“Kekuatan domestik masih mampu membiayainya. Hanya butuh terobosan pemerintah untuk memberi kemudahan pembiayaan di sektor kemaritiman. Membuka sedari awal keterlibatan asing akan mempersempit kesempatan usaha rakyat,” ujarnya berargumen.
Untuk itu, kata Riza, KNTI mendesak pemerintah dan DPR untuk bersama-sama mengoptimalkan Program Legislasi Nasional 2015-2019 untuk memperluas substansi revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Salah satunya adalah dengan mengoreksi Pasal 26A terkait keterlibatan investasi asing dalam pengelolaan pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni.
Pemerintah juga harus segera merevisi Peraturan Presiden No.39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal untuk memasukkan usaha penangkapan ikan ke dalam daftar negatif investasi asing.
“KNTI menyerukan kepada organisasi nelayan, masyarakat pesisir, dan penyelenggara negara di seluruh tingkatan untuk bersama-sama mewujudkan demokratisasi pengelolaan laut dari, oleh, dan untuk rakyat Indonesia,” pungkas Riza. (*)