KNTI: Penuntutan MV Hai Fa dan Kasus Perbudakan Harus Tuntas

Aktivitas transshipment komoditas tuna (dok. greenpeace)
Aktivitas transshipment komoditas tuna (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Dunia perikanan Indonesia kembali diguncang kabar tak menyedapkan. Setelah kasus rendahnya tuntutan yang dijatuhkan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Tinggi Ambon untuk kapal MV Hai Fa yang kedapatan membawa ikan ilegal, kemudian terungkap pula praktik perbudakan atas Anak Buah Kapal (ABK) yang dilakukan oleh kapal-kapal Thailand yang dioperasikan oleh PT Pusaka Benjina Resources berlokasi di Benjina, Maluku.

Hal itu terungkap dari laporan investigasi Associate Press (AP) yang menurunkan laporan berjudul “Are Slaves catching the fish you buy?“. Laporan itu sendiri diturunkan pada tanggal 25 Maret 205 lalu.

Terkait hal ini, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mengatakan, KNTI percaya aparat hukum Indonesia dapat menunjukkan ke dunia internasional bahwa proses penegakan hukum perikanan di Indonesia, tidak tebang-pilih, adil, dan profesional. Termasuk dengan menyita kapal pengangkut ikan berbendera Panama MV Hai Fa.

“Syaratnya, segera mengajukan tuntutan baru dengan fokus dakwaan terkait langsung pencurian ikan,” kata Riza kepada Villagerspost.com, Senin (30/3).

Merujuk Permen Usaha Perikanan Tangkap disebutkan: “Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.”

“Faktanya, MV Hai Fa tertangkap saat membawa ikan, bahkan jenis ikan yang dilindungi yang dilarang untuk ditangkap, diperdagangkan dan diekspor, tidak dilengkapi izin dan melanggar ketentuan Sistem Pengawasan Kapal (Vessel Monitoring System),” tegas Riza.

Jaksa, kata dia, harus cermat mengambil terobosan hukum dalam tuntutan baru tersebut nantinya. Terobosan dilakukan dengan memperluas pasal pidana pencurian ikan terhadap kejahatan kapal pengangkut ikan berbendera asing yang beroperasi di Indonesia.

“Jaksa dapat menggunakan ancaman pidana terhadap kapal ikan asing yang beroperasi illegal di Indonesia termasuk kapal pengangkut ikan,” ujar Riza.

Maka, sesuai Pasal 27 Ayat (2) jo Pasal 93 Ayat (2) UU Perikanan, MV Hai Fa dapat didenda hingga mencapai Rp20 miliar dan penjara hingga 6 tahun. Dan terkait korporasi yang melakukannya juga diancam dengan diperberat dengan Pasal 101 yang menambah tuntutan pidana kepada pengurus dan tambahan 1/3 denda pidana.

Hal yang sama juga ditekankan Riza terkait kasus praktik perbudakan terhadap nelayan Myanmar di perairan Indonesia. “Investigasi menyeluruh terhadap kasus ini akan menjadi kunci menjawab sentimen negatif yang dituduhkan ke RI, termasuk tuduhan tidak mendasar Thailand. Selain KKP, perlu melibatkan Komnas HAM, Imigrasi, Kemenlu, TNI-Polri, hingga kelompok masyarakat,” tegas Riza.

Pemerintah, menurutnya, juga dapat mengeluarkan notifikasi mengajak masyarakat ASEAN dan dunia internasional memberikan sanksi penutupan (disinsentif) akses pasar terhadap perusahaan Thailand dan lainnya yang terlibat dalam praktik perbudakan. “Termasuk membatalkan seluruh sertifikasi produk perikanan yang pernah diterimanya,” ujar Riza.

Kedua kasus besar ini harus menjadi cerminan bagi Pemerintahan Jokowi-JK, khususnya dalam rangka penertiban dan pembaharuan izin perikanan di perairan Indonesia. Ada 5 indikator kepatuhan yang harus diintegrasikan ke dalam sistem perijinan baru perikanan.

Pertama, kepatuhan membayar pajak. Kedua, kepatuhan membangun Unit Pengolahan Ikan. Ketiga, kepatuhan melindungi pekerja di atas kapal. Keempat, kepatuhan menjaga lingkungan laut. Kelima, kepatuhan menjaga kualitas produk ikan aman bagi konsumen.

KNTI juga mengingatkan KKP untuk tidak terjebak pada daftar hitam perusahaan yang ada saat ini. Karena besar kemungkinan modus ke depan adalah mereka mendirikan perusahaan baru, nama baru, dan manajemen baru, namun tetap menggunakan sumber kapital yang sama.

“Disinilah kelima indikator kepatuhan di atas dapat memisahkan antara pelaku usaha perikanan nakal dan yang benar-benar membawa manfaat buat negara,” pungkas Riza.

Terkait kasus perbudakan di Maluku sendiri, KKP lewat siaran persnya menyatakan praktik yang dilakukan Thailand itu merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolerir dan merugikan negara.

“Perbudakan bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal martabat manusia yang memiliki kebebasan. Walaupun secara ekonomi tampak menguntungkan, namun sistem perbudakan menyangkal status kemanusiaan tiap orang,” demikian diungkapkan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan Saut P Hutagalung dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/3).

KKP, kata Saut, menolak praktik bisnis yang hanya mengutamakan keuntungan tanpa mengindahkan hak-hak pekerja yang wajar KKP tidak dapat menerima pandangan perusahaan bahwa yang penting keuntungan dapat namun tidak mau tahu terhadap tata kelola yang buruk berjalan di perusahaan. “Mengenai hal ini KKP sangat tegas menolak perbudakan,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Saut menegaskan, praktik perbudakan itu bukan dilakukan kapal Indonesia. KKP sendiri, menurutnya, telah melakukan pembenahan terhadap kapal-kapal ikan dengan dikeluarkannya Permen KP Nomor 56/2014 tentang Penghentian Sementara (moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

“Hal ini sejalan dengan prinsip KKP bahwa akan sangat keras dan tegas memberantas praktek illegal fishing,” ujar Saut.

Dampak langsung dari pemberlakuan Permen KP itu, kata dia, memang terjadi penurunan volume produksi perikanan dari usaha penangkapan khususnya hasil tangkapan dari beberapa kapal ikan eks asing. “Namun dalam jangka panjang harapan terhadap sustainability (keberlanjutan) sumber daya alam, profesi nelayan dan bisnis perikanan adalah suatu keniscayaan atau akan lebih terjamin. Bahkan laporan dari beberapa daerah menyebutkan bahwa para nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum dikeluarkannya ketentuan ini,” ujarnya.

Dia mengakui, praktik perbudakan yang dilakukan kapal Thailand itu dapat merusak citra bisnis perikanan Indonesia. Upaya pembenahan sebagaimana Permen KP No 56/2014 merupakan perwujudan dari visi keberlanjutan yang dijalankan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Komitmen KKP, kata Saut, adalah mempromosikan “Sustainable Fisheries” atau perikanan berkelanjutan sangat diapresiasi oleh para buyer utama mancanegara seperti Anova, Sainsbury, Cannon Fish, Amacore, Apicda, Sea Delight, Walmart, Hilo Fish yang memang pro keberlanjutan.

“Sejalan dengan visi keberlanjutan, KKP konsisten mewujudkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan,” tegas Saut.

Dalam menghadapi persaingan global, kata dia, tidak ada pilihan lain kecuali terus mempromosikan keberlanjutan. Pelaku usaha perikanan diminta untuk terus memenuhi persyaratan pasar (keamanan pangan, keberlanjutan dan ketertelusuran) dan hal-hal terkait “social compliance (kepatuhan sosial) seperti ketenagakerjaan.

Terkait kesejahteraan tenaga kerja termuat dalam persyaratan social compliance, tertuang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13/2003. Kepatuhan sosial merupakan persyaratan pasar global yang pada 2-3 tahun terakhir makin menguat dan mendapat perhatian mulai dari hulu hingga hilir.

Secara khusus aturan ketenagakerjaan bidang perikanan dan kelautan di Indonesia pada umumnya mengacu pada ketentuan Menteri Tenaga Kerja RI dan ketentuan khusus Menteri Perhubungan RI seperti Keputusan Menhub Nomor 9 Tahun 2005. Juga mengacu pada konvensi internasional di bidang ketenagakerjaan perikanan dan kepelautan seperti ketentuan IMO-STCWF 1995.

“Perbudakan sebagai kasus khusus ketenagakerjaan merupakan hal terlarang di Indonesia karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Perbudakan itu tidak beradab oleh karena itu kita tolak,” ujar Saut.

Dia menegaskan, sepanjang pemantauan yang dilakukan oleh KKP dan kementerian/lembaga terkait, tidak ditemukan kasus perbudakan di industri perikanan di Indonesia baik di usaha pembudidayaan ikan, penangkapan ikan dan pengolahan/pemasaran hasil perikanan.

Khusus di bidang pengolahan/pemasaran, tidak ditemukan kasus perbudakan di unit-unit pengolahan ikan (UPI). “Bahkan banyak UPI yang menerapkan ketentuan ketenagakerjaan di atas atau lebih tinggi dari standar yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja,” tegasnya.

Semua UPI memang wajib memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan/SKP (Good Manufacture Practices-Standard Sanitary Operational Procedure/GMP-SSOP) yang antara lain mengatur perlengkapan kerja, kondisi tempat kerja dan sudah sesuai dengan SKKNI atau Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.

“Hal ini menegaskan investigasi Associated Press bahwa telah terjadi perbudakan dan kerja paksa oleh kapal-kapal ikan Thailand yang dioperasikan oleh PT Pusaka Benjina Resources di Benjina tidak terjadi di Unit Pengolahan Ikan yang beroperasi di wilayah Indonesia,” pungkasnya. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.