Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Desak Transparansi Perundingan RCEP

Aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi melakukan aksi mendesak pemerintah keuar dari WTO karena rugikan petani dan nelayan (dok. indonesia for global justice)

Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE) mendesak agar Pemerintah Indonesia membuka akses informasi dan transparansi teks perjanjian kepada publik untuk dapat dikaji secara mendalam dampak yang akan muncul dari perjanjian RCEP terhadap kehidupan rakyat luas. Perundingan RCEP ke-26 yang baru saja selesai berlangsung di Melbourne, Australia pada 28 Juni hingga 3 Juli 2019, masih buntu dan tidak menghasilkan kesepakatan.

Bahkan, saat ini perundingan RCEP dipercaya akan sulit diselesaikan pada akhir tahun 2019. Namun, hingga tahun ke-7 perundingan berlangsung, tidak ada akses informasi dan transparansi teks yang dilakukan oleh Pemerintah mengenai RCEP itu sendiri.

Walaupun demikian, dari laporan koalisi masyarakat sipil negara-negara anggota RCEP yang menghadiri pertemuan di Melbourne dan sumber media internasional, perundingan kemarin menunjukkan perkembangan positif bagi perjuangan kelompok masyarakat sipil selama ini. Dimana pada bab Hak Kekayaan Intelektual, negara anggota RCEP telah sepakat untuk menghapus beberapa aturan mengenai Paten yang selama ini merugikan hak pasien atas obat murah dan hak petani atas benih.

Koordinator Advokasi dan Penelitian Indonesia for Global Justice Teguh Maulana menerangkan dari informasi yang didapat, ketentuan yang akan dihilangkan tersebut diantaranya. Pertama, perpanjangan masa paten (Patent Term Extention). Kedua, ekslusifitas data. Ketiga, kewajiban anggota RCEP untuk menjadi anggota Konvensi UPOV 1991, yaitu perjanjian internasional untuk perlindungan varietas tanaman.

“Jika terkonfirmasi benar, maka ini adalah kemenangan kecil dari perjuangan masyarakat sipil terhadap isu perlindungan paten dalam FTA. Namun, kami tetap khawatir jika aturan tersebut tidak betul-betul hilang dari perjanjian, teksnya bisa saja kompromis, tetapi ada tambahan aturan di lampiran perjanjian lainnya,” tegas Teguh, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Sabtu (6/7).

Lebih lanjut Teguh mempertanyakan keabsahannya karena hingga saat ini tidak ada akses informasi dan transparansi teks yang dirundingkanoleh Pemerintah. Transparansi teks sangat penting untuk membuka kesempatan kepada publik, termasuk parlemen, melakukan kajian dampak perjanjian RCEP..

Dalam isu benih, Lutfiyah Hanim dari TWN (Third World Network) menjelaskan, selama ini aturan perlindungan varietas tanaman (PVT) yang merujuk pada Konvensi UPOV tidak berpihak pada petani. Hanim menyebutkan peraturan-peraturan tersebut berkontradiksi dengan praktik-praktik petani menyimpan benih, bertukar, berbagi dan melakukan pemuliaan tanaman.

Pengaturan PVT yang semacam itu, juga membuat petani tergantung pada benih-benih buatan pabrik. “Dihapusnya kewajiban untuk menjadi anggota UPOV masih perlu dicek kembali, apakah betul pasal itu tidak ada, atau kalimatnya saja yang dibuat sangat kompromis,” ujarnya.

Lutfiyah mengatakan, terkadang jebakan itu ada pada ketentuan yang tidak terlihatdalam perjanjian, misalnya, tambahan catatan kaki yang ditulis dalam huruf yang lebih kecil atau diatur lampiran perjanjian. “Seperti ungkapan The devil is in the details. Sehingga, penting untuk membaca usulan-usulan teks perjanjian secara utuh,” kata Hanim.

Putri Sindi dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) menyatakan, meskipun ketiga aturan tersebut telah dihapus dari bab HKI, RCEP tetap saja berbahaya untuk rakyat. Menurutnya, masih ada beberapa pasal yang bahaya di dalam Bab HKI yang belum dihapus.

“Masih ada pasal-pasal yang isinya bermasalah di dalam RCEP, yaitu pasal mengenai enforcemen (penegakan hukum) bagi pelanggaran HKI, termasuk usulan aturan perbatasan (border measure),” ujarnya.

Menurut Sindi, usulan pasal ini bermasalah karena badan bea cukai sebagai ujung tombak pengawasan lalu lintas barang diperbatasan tidak mempunyai kapabilitas untuk mengetahui adanya pelanggaran HKI. “Usulan semacam ini akan merugikan pasien karena jika terdapat dugaan pelanggaran HKI, maka obat yang terduga akan disita atau ditahan di perbatasan. Padahal mungkin obat tersebut adalah obat generik,” tambah Sindi.

Penting menjadi catatan bahwa RCEP bukan hanya mengatur urusan dagang semata, namun memiliki implikasi yang lebih luas terhadap kehidupan rakyat Indonesia. Dalam hal ini masyarakat sipil juga mengingatkan agar pemerintah Indonesia tidak terjebak pada kontestasi geopolitik negara-negara anggota RCEP lainnya yang mendesak percepatan penyelesaian perundingan tanpa adanya kajian menyeluruh terhadap dampak RCEP baik bagi masyarakat maupun lingkungan.

Saat ini pemerintah China tengah mendesak negara-negara lainnya untuk segera menyelesaikan perundingan tahun ini bahkan jika harus mengeksklusi negara seperti India, Australia dan New Zealand demi tercapainya tujuan tersebut.

Ketua Umum Kesatuan Perjuangan Rakyat Herman Abdulrohman menerangkan, isu penting lainnya yang juga menjadi perhatian masyarakat sipil adalah mengenai mekanisme gugatan investor asing terhadap negara atau dikenal dengan ISDS (investor to state dispute settlement). Jika negara anggota RCEP menyepakati mekanisme ISDS tentu akan semakin memberikan karpet merah kepada investor asing dan posisi buruh akan terus lemah akibat regulasi nasional yang pro terhadap kepentingan investor.

“Peningkatan nilai investasi asing yang masuk ke Indonesia terus ditargetkan oleh pemerintah. Berbagai kebijakan terus diarahkan untuk memberikan fasilitas dan fleksibilitas bagi kepentingan investor. Dengan adanya mekanisme ISDS, negara akan semakin takut membuat kebijakan yang pro terhadap rakyat karena takut digugat di arbitrase internasional. Maka, perjuangan buruh untuk mendorong adanya peraturan perundang-undangan yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat luas tentu akan semakin terhambat,” tegas Herman.

Hingga saat ini, perdebatan negara anggota RCEP ini masih kencang antara yang pro dan kontra terhadap ISDS. Bahkan, isu ISDS menjadi satu isu besar yang mengganjal dalam mencapai kesepakatan dalam bab investasi.

Di dalam isu jasa, salah satu isu yang akan dilberalisasi adalah sektor pariwisata. Dari informasi yang didapat oleh koalisi, bahwa Pemerintah Indonesia akan mendorong pariwisata sebagai sektor yang akan diliberalisasi. Hal ini diklaim pemerintah sebagai sektor yang memiliki potensi untuk meningkatkan ekonomi.

Sekjen KIARA Susan Herawati menilai, liberalisasi sektor pariwisata akan mendorong masuknya investasi asing secara masif di sektor ini. Pemerintah Indonesia saat ini sedang mengembangkan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di sepuluh lokasi. Dari sepuluh lokasi tersebut, tujuh berada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Salah satunya adalah di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.

“Dari data yang dimiliki KIARA, Australia dan Korea Selatan tercatat sebagai dua negara yang akan terlibat mengembangkan infrastruktur pariwisata di Labuan Bajo. Hal ini tentu akan sangat berdampak terhadap kehidupan ribuan nelayan yang berpotensi kehilangan akses lahan termasuk wilayah pencarian ikan,” tegas Susan.

Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata menegaskan, sektor kelautan dan perikanan di Indonesia lebih membutuhkan pengaturan dan pengelolaan melalui Kelembagaan Pangan Nasional. Investasi yang di dorong melalui sektor privat hanya semakin menambah ketimpangan dan semakin meminggirkan nelayan kecil dan tradisional.

Apalagi dampak dari kebijakan impor yang tak terkontrol membuat banyak nelayan hingga petambak garam mengalami kerugian. “Di beberapa daerah nelayan masih kesulitan untuk mendapat akses pasar terhadap hasil tangkapan mereka. Sementara itu, petambak garam terus mengalami kerugian karena pemerintah terus melakukan impor garam sehingga membuat harga garam semakin drop hingga 600 rupiah perkilo untuk kualitas unggulan. Padahal harga sebelumnya petambak bisa mendapatkan harga 2000 rupiah perkilo,” tegas Marthin.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.