Komisi VII: Harus Ada Kebijakan Komprehensif Terkait Industri Pupuk dan Petrokimia
|
Jakarta, Villagerspost.com – Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengharapkan adanya kebijakan yang komprehensif menyangkut industri petrokimia dan pupuk. “Pada dasarnya kita ingin memperoleh sebuah kebijakan yang komprehensif menyangkut industri petrokimia dan pupuk, mengingat industri petrokimia sudah menjadi industri yang strategis kedepan,” kata Sugeng, dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VII dengan Plt. Dirjen Migas Kementerian ESDM, Kepala SKK Migas, Kepala BPH Migas, dan Dirut PT Pupuk Indonesia (Persero), di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (5/12).
Dalam rapat yang membahas pasokan, kebutuhan, dan harga gas bumi untuk industri petrokimia dan pupuk itu, Sugeng mengatakan, refinery atau pemurnian harus diintegrasikan juga dengan petrokimia agar nilai keekonomisannya bisa terjangkau dengan baik. “Komisi VII melihat bahwa segala kepastian di dua industri ini harus segera ada, yakni utamanya adalah kepastian tentang bahan baku, yang dalam hal ini adalah gas. Terobosan apapun harus kita buat,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu menyampaikan, kondisi defisit neraca migas yang terjadi saat ini masih akan berlangsung dalam waktu yang lama. “Ada pandangan yang menyebutkan bahwa neraca migas kita itu keliru. Kalau disebut defisit atau surplus, ekspor kurang impor,” ujar Gus Irawan.
Soal gas misalnya, Gus Irawan mempertanyakan seberapa banyak gas yang dihasilkan didalam negeri yang diekspor. Data terkait hal ini penting, mengingat kebutuhan dalam negeri sebenarnya masih besar. Gus Irawan mengatakan, kebutuhan gas dalam negeri adalah 65 persen dan sisanya yang diekspor sebesar 35 persen.
“Ada pandangan, Kalau ingin neraca migas kita baik, maka semua gas yang dihasilkan diekspor. Dengan ekspornya bertambah dan sudah lebih besar daripada impor, maka neraca migas itu menjadi surplus. Saya khawatir, kalau itu pandangannya, maka pupuk tidak akan dapat alokasi. Padahal, 90 persen adalah untuk kepentingan petani,” kata Gus Irawan.
Dia mengaku khawatir, akan adanya upaya yang memperbaiki neraca migas dengan mengurangi atau menambah ekspor. Mungkin harus ada redefinisi soal neraca migas itu. “Pertamina punya kilang di luar negeri, katanya kalau Pertamina membawa minyaknya yang di luar negeri ke sini dicatat sebagai impor. Kalau demikian maka akan menambah besar lagi defisit. Kinerja ESDM seolah-olah melulu di neraca itu. Kalau itu kinerjanya ESDM, maka orang ESDM akan menambahkan ekspor dan alokasi buat pupuk yang di ujungnya adalah buat petani menjadi sangat kurang,” tandasnya
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Rudy Mas’ud menyampaikan, memang ada sedikit permasalahan yang tidak sinkron dan harus segera diselesaikan terkait kebutuhan pasokan gas untuk pabrik pupuk. Rudy meminta agar pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM bisa mensinkronkan kebutuhan pasokan gas yang diperlukan oleh pabrik pupuk yang bahan bakunya menggunakan gas.
“Sementara untuk kebutuhan pasokan gas dibeberapa pabrik pupuk dimasing-masing wilayah memang berbeda-beda. Kalau untuk di Kalimantan Timur sendiri tidak ada masalah dengan pasokan gas,” ujarnya.
“Yang bermasalah adalah pabrik pupuk yang ada diwilayah Sumatera. Apabila kontrak gasnya dipabrik itu berakhir pada tahun 2021 dan 2022 dan tidak segera diantisipasi maka pabrik pupuk tersebut akan berhenti beroperasi,” kata Rudy menambahkan.
Oleh karenanya Rudy mendorong agar adanya keadilan dalam melaksanakan kegiatan harga oleh pemerintah. Ditegaskannya, untuk pupuk subsidi harus juga menggunakan gas bersubsidi.
Hal ini supaya pabrik pupuknya tetap bisa eksis beroperasi dan menghasilkan profit. Sementara untuk pupuk yang diekspor, gas yang digunakan adalah gas yang tidak disubsidi, agar perusahaan gasnya bisa tetap hidup.
“Yang paling utama, didaerah-daerah Sumatera sendiri ada daerahnya yang bisa menghasilkan gas yang cukup banyak tetapi ada juga yang tidak. Untuk itu saya memberikan solusi, bagaimana kita melaksanakan injeksi gas yang kekurangan pasokannya dengan menggunakan Floating Storage Regasification Unit (FSRU). Jadi bisa menggunakan kapal. Dengan begitu bisa diketahui jumlah dan dimana lokasinya,” ujarnya.
Politikus Partai Golkar itu menganalogikan, seperti kebutuhan PLN. Dimana untuk daerah tertentu yang banyak membutuhkan pasokan listrik, kebutuhan pasokannya dikirim dengan menggunakan kapal floating. “Oleh karenanya untuk kebutuhan gas bisa juga disuplay menggunakan kapal. Harapan saya, untuk daerah-daerah pabrik pupuk yang kekurangan pasokan gas, bisa disuplay dengan sistem FSRU tersebut,” pungkas Rudy.
Editor: M. Agung Riyadi