Komitmen Jokowi untuk Pengurangan Emisi 29 Persen pada 2030 Dipertanyakan
|
Jakarta, Villagerspost.com – Pelaksanaan KTT Perubahan Iklim ke-23 di Bonn, Jerman, tanggal 7 November-17 November 2017 telah dimulai. Masyarakat pesisir mengingatkan Presiden Joko Widodo atas target pengurangan emisi hingga 29% di 2030 yang disampaikan pada KTT Iklim ke 21 di Paris.
Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, Indonesia berada di peringkat ke-6 setelah Rusia dari 10 negara penghasil emisi gas rumah kaca. Total emisi yang dihasilkan Indonesia pertahun kira-kira 1,98 miliar ton.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, ambisi Jokowi untuk mengurangi emisi hingga 29% pada 2030 patut dipertanyakan. “Ini mengingat arah kebijakan hari ini malah memberikan kemudahan izin bagi industri ekstraktif seperti tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil yang jelas-jelas berkontribusi kepada meningkatnya emisi dan dirampasnya ruang hidup masyarakat pesisir,” ujar Susan dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (6/11).
Susan memaparkan, pertambangan yang dilakukan pesisir dan pulau-pulau kecil sejatinya mempercepat proses penenggelaman pulau-pulau kecil di Indonesia. Saat ini, catatan Pusat Data dan Informasi KIARA menyebut setidaknya 20 wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hancur akibat industri ekstraktif tambang.
“Jika tidak serius mencabut seluruh izin pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia,” ujar Susan.
Masalah lain adalah hilangnya ruang pesisir akibat proyek-proyek reklamasi. Berdasarkan data KPK ada 28 titik lokasi reklamasi di Indonesia yang menutup ribuan hektar lahan pesisir produktif. “Sikap pemerintah hingga saat ini mendukung reklamasi dengan yang penuh dengan pelanggaran hukum dan berdampak kepada ekosistem lingkungan. Presiden Jokowi Widodo harus menghentikan seluruh proyek-proyek reklamasi,” tegas Susan.
Proyek reklamasi di Indonesia jelas-jelas menghancurkan luasan wilayah mangrove sebagai ekosistem pesisir yang berjasa menyerap emisi karbon. Berdasarkan hasil penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, ekosistem mengrove mampu menyerap emisi karbon lebih besar dari hutan di daratan. “Mangrove berkontribusi terhadap penyerapan emisi karbon 10 kali lebih besar dari hutan tropis,” ungkap Susan.
Contoh yang paling nyata, tambah Susan, adalah Reklamasi Teluk Jakarta yang hanya menyisakan luasan mangrove tidak lebih dari 25 hektare. Padahal, sebelum adanya reklamasi sejak pada masa lampau, Teluk Jakarta memiliki luasan mangrove lebih dari 1000 ha.
“Sangat disayangkan. Pada forum-forum internasional, pemerintah selalu menjadikan isu laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai komoditas dagangan perubahan iklim dengan tujuan mendatangkan invetsor. Namun pada saat yang sama, pemerintah justru menjadi aktor utama perusakan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, masyarakat pesisir terus terancam kehidupannya,” ujar Susan Herawati.
Pertemuan KTT Perubahan Iklim ke-23 ini seyogyanya digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai momentum untuk mengevaluasi seluruh izin terhadap proyek-proyek yang merusak ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. “Jika tidak, maka dampak kerusakan akan terus meluas dan menggangu keberlanjutan livelihood masyarakat pesisir yang berjasa menyediakan pangan laut bagi bangsa Indonesia,” pungkasnya. (*)