Komitmen Lingkungan Harus Ditegaskan Kembali Oleh Negara-Negara G20
|
Jakarta, Villagerspost.com – Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak komitmen terhadap lingkungan harus ditegaskan kembali oleh negara-negara G20 dalam KTT G20 di Osaka, Jepang. Hal ini karena isu lingkungan akan menjadi krusial untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan yang berkelanjutan secara global. Selain juga untuk mendorong lebih jauh komitmen terhadap penanggulangan dampak perubahan iklim.
Peneliti IGJ Teguh Maulana memandang, KTT para pemimpin negara G20 harus dimanfaatkan untuk mempertegas kembali komitmen terhadap perlindungan lingkungan dan perubahan iklim. “Hal ini karena terdapat beberapa isu lingkungan krusial yang harus segera direspon oleh negara G20. Seperti isu sampah plastik dan pembiayaan untuk energi berbahan fosil seperti batu-bara,” sebut Teguh, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Sabtu (29/6).
Namun demikian Teguh menjelaskan, kemungkinan hal ini akan sulit tercapai. Dia menerangkan, hal ini akan bertentangan kepentingan ekonomi beberapa negara besar dalam G20. “Misalnya seperti AS yang memilih berada di luar kesepakatan Paris mengenai pengurangan emisi. Serta China dan India yang tetap membutuhkan sumber energi murah seperti batu-bara untuk menopang pertumbuhan ekonominya,” jelasnya.
Salah satu isu lingkungan yang dibahas dalam KTT G20 di Osaka adalah masalah penanggulangan sampah plastik. Dalam pertemuan tingkat menteri lingkungan negara G20 yang digelar seminggu sebelum KTT, disepakati pengimplementasian kerangka kerja baru untuk aksi penanggulangan isu sampah plastik khususnya sampah plastik di lautan secara global.
Namun menurut Teguh, kerangka kerja tersebut masih bersifat samar-samar karena tidak jelasnya target pengurangan sampah plastik yang harus dicapai. “Padahal menurutnya isu mengenai sampah plastik sendiri sudah mulai dibahas sejak KTT G20 di Pittsburgh sepuluh tahun lalu. Namun tidak pernah ada tindakan nyata untuk benar-benar menanggulangi masalah ini,” ujar Teguh.
Sebagai gambaran ketika Uni Eropa mengesahkan regulasi yang melarang penggunaan plastik sekali pakai yang akan diterapkan di seluruh negara anggotanya mulai 2021, Jepang yang merupakan tuan rumah KTT G20, bersama dengan AS gagal untuk meneken kesepakatan G-7 tahun lalu untuk menekan penggunaan sampah plastik pada 2030. “Kedua negara tersebut hanya berkomitmen mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai sebanyak 25 persen, pada 2030,” terang Teguh.
Selain itu isu sampah plastik telah berkembang menjadi krisis di seluruh dunia. Bukan hanya mencemari laut, tetapi juga praktik untuk mengapalkan/mengekspor sampah plastik ke negara-negara berkembang oleh negara maju. Teguh menyebutkan, AS, Jepang, Kanada, dan beberapa negara Uni Eropa yang merupakan anggota ekonomi terbesar G20, selama bertahun-tahun mengekspor sampah plastik mereka ke negara-negara berkembang seperti China, Indonesia, dan Filipina tanpa mempedulikan dampak lingkungan yang akan timbul di negara-negara tersebut.
“Sebab tidak semua sampah plastik itu bisa didaur-ulang atau menjadi bahan baku industri. Banyak dari sampah plastik itu justru adalah limbah B3,” tegasnya.
lsu lain yang muncul terkait lingkungan adalah mengenai subsidi negara G20 untuk pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang mencapai tiga kali lipat dalam beberapa tahun terakhir. Padahal menurut Teguh, sepuluh tahun sebelumnya G20 berkomitmen untuk menghilangkan subsidi untuk penggunaan bahan bakar fosil. Hal ini tentunya bertentangan dengan desakan untuk memangkas emisi karbon yang telah disepakati dalam kesepakatan mengenai perubahan iklim di Paris tahun 2015 lalu.
China dan India merupakan pemberi terbesar subsidi untuk batu bara, diikuti Jepang di uratan ketiga, lalu diikuti oleh Afrika Selatan, Korea Selatan, Indonesia dan AS. “Bahkan Jepang setiap tahunnya mengucurkan dana miliaran Yen yang digunakan untuk membiayai pembangunan pembangkit berbahan bakar fosil di luar negeri,” sebut Teguh.
Teguh menerangkan, khusus untuk batu bara, secara global total subsidi dan pembiayaan yang diberikan untuk tambang batubara dan untuk membangun serta memelihara pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, termasuk investasi yang dilakukan oleh perusahaan BUMN, rata-rata mengalami peningkatan dari US$17 miliar pada 2014 menjadi US$47 miliar pada 2017. Meskipun ada pengurangan untuk tambang batu bara, dari US$22 miliar menjadi US$10 miliar.
Editor: M. Agung Riyadi