Konflik Agraria: Petani Pulau Wawonii Tuntut Penghentian Kriminalisasi dan Pencabutan Izin PT GKP

Konferensi pers terkait konflik agraria dan kriminalisasi terhadap petani dan warga Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara (dok. konsorsium pembaruan agraria)

Jakarta, Villagerspost.com – Ketegangan dan konflik sosial di Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan kian memanas. Situasi ini dipicu oleh terjadinya konflik agraria antara warga Wawonii dengan perusahaan pertambangan PT Gema Kreasi Perdana (GKP).

Tindakan sejumlah karyawan PT GKP yang mengaku diperintah oleh pimpinan dan direktur untuk melakukan perampasan lahan dan pengrusakan tanaman milik warga dan petani di wilayah tersebut, pada 22 Agustus 2019 lalu, memperpanas situasi konflik. Hingga saat ini situasi di lokasi belum kondusif.

“Jika pihak perusahaan terus memaksakan untuk meneruskan perampasan lahan dan Pemda Konkep, Gubernur Sultra maupun Polda Sultra tidak segera mengambil tindakan menghentikan aktivitas PT GKP, maka situasi ini berpotensi menimbulkan konflik sosial yang lebih besar dan meluas melibatkan warga Wawoni selaku pemilik dan penguasa lahan melawan pihak PT GKP,” kata Labaa, warga Pulau Wawonii, sekaligus pemilik lahan, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Selasa (28/8).

Kisran Makati dari Pusat Kajian Dan Advokasi Hak Asasi Manusia Sulawesi Tenggara (Puspaham) Sulawesi Tenggara mengatakan, peristiwa tanggal (22/8) adalah bentuk tindakan PT GKP yang main hakim sendiri, sewenang-wenang, melawan hukum dan menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). PT GKP melanggar hak milik, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas pekerjaan termasuk mencari nafkah, hak untuk hidup tenteram tanpa gangguan/ancaman dan hak kehidupan layak.

“Di lain pihak, Pemda Konkep, Gubernur Sultra dan Polda Sultra turut melakukan pelanggaran HAM berupa pembiaran (by omission) tindakan sewenang-wenang perusahaan yang merampas hak asasi warga,” ujar Kisran.

Padahal, kasus ini sedang dalam proses penyelidikan Polda Sultra atas laporan perusahaan terhadap tiga orang warga Wawonii dengan sangkaan menghalangi kegiatan tambang sesuai Pasal 162 Jo. Pasal 136 UU Minerba. “Dalam hal ini Polda Sultra tidak bertindak profesional, harusnya bekerja cepat melakukan penyelidikan dan mencegah tindakan-tindakan yang dapat merugikan para pihak dan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat,” kata Edy Kurniawan, dari LBH Makassar-YLBHI yang menjadi kuasa hukum warga.

Pihak Polda Sultra justru melakukan pengawalan terhadap tindakan sewenang-wenang PT GKP. ” Warga Wawonii memiliki bukti kuat atas pemilikan dan penguasaan lahan, di lain pihak PT GKP yang mengklaim lahan warga harusnya bertindak berdasarkan hukum dengan mengajukan gugatan hak terhadap warga,” tambah Edy.

“Jika kiranya perusahaan merasa punya hak maka silahkan dibuktikan di pengadilan dan meminta hakim untuk melakukan eksekusi. Bukannya meminta pengawalan aparat untuk main hakim sendiri,” tambahnya.

Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Tenggara Torop Rudendi mengatakan, konflik agraria yang terjadi di Konawe Kepulauan adalah bukti pemerintah daerah maupun pusat belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat di kabupaten tersebut dalam mengelola sumber-sumber agraria. “Penyelesaian konflik agraria di Konkep selama ini dilakukan dengan pendekatan intimidatif dan diskriminatif dengan dalih melindungi investasi, bukan bekerja sebagiamana mestinya sebagai penegak hukum,” ujarnya.

Torop mengingatkan, tidak kalah pentingnya adalah Kabupaten Konkep merupakan wilayah pelaksanaan redistribusi lahan di Sultra melalui pelepasan kawasan hutan dengan skema reforma agraria seluas 14 ribu hektare. Program tersebut dilaksanakan oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Sultra yang dibentuk oleh Gubernur Sultra sejak Februari 2019.

“Kegiatan redistribusi lahan di Kabupaten Konkep menjadi prioitas kerja dalam kerangka implementasi dari agenda besar reforma agraria presiden Joko Widodo,” jelas Torop.

Sementara itu, Udin dari WALHI Sultra menjelaskan, Pulau Wawonii pulau kecil dengan luas ±1500 km2 sesungguhnya harus bebas dari aktivitas ekstraktif utamanya bagi pertambangan. Dia menegaskan, pertambangan di Wawonii melanggar Pasal 35 huruf i dan k UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Beleid tersebut pada pokoknya melarang penambangan pasir dan mineral pada wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial dan budaya menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan serta merugikan masyarakat,” ujarnya.

Karena itu, warga Wawonii bersama elemen masyarakat sipil menyerukan beberapa tuntutan kepada pihak terkait. Pertama, mendesak Kapolri untuk mengusut dan mengevaluasi kebijakan Kapolda Sultra terkait pengamanan investasi PT GKP di wilayah Wawoni.

Kedua, menuntut Kapolda Sultra untuk segera melakukan upaya penyelidikan-penyidikan terkait dugaan penyerobotan lahan dan pengrusakan tanaman milik warga yang diduga dilakukan oleh karyawan PT GKP selaku pelaku lapangan dan pimpinan/direktur operasional selaku otak peristiwa. Ketiga, mendesak Kapolda Sultra untuk menindak tegas aparat kepolisian yang melakukan intimidasi terhadap warga di lapangan

Keempat, menuntut Gubernur Sultra untuk segera mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT GKP. Kelima menuntut Gubernur Sultra melalui GTRA Sultra agar segera melakukan percepatan penyelesaian konflik agraria dan tidak lagi menunda-nunda pelaksanaan Reforma Agraria di kabupaten Konawe Kepulauan dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan dan keberlanjutan ekologis.

Keenam, mendesak Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh PT GKP, Polda Sultra dan Gubernur Sultra. Ketujuh, mendesak Kementerian Kelautan Dan Perikanan untuk segera melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kedelapan, mendesak KPK RI untuk mengusut duggan korupsi (penyalahgunaan kewenangan dan gratifikasi) terkait perizinan dan operasi pertambangan PT GKP.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.