Konflik Petani Plasma Sawit dan PT HIP Menggantung, Pansus DPRD Buol Dinilai Gagal

Ilustrasi konflik di perkebunan sawit (dok. koalisi buruh sawit)

Bogor, Villagerspost.com – Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, untuk menyelesaikan konflik antara Koperasi Petani Plasma dengan PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP), dinilai gagal mengatasi masalah tersebut. Perwakilan dari Forum Petani Plasma Buol Fatrisia Ain mengatakan, Pansus tidak bekerja optimal dan tidak menghasilkan rekomendasi-rekomendasi konkret yang dapat menyelesaikan masalah.

Fatrisia mengatakan, akar konflik antara petani plasma dengan PT HIP adalah karena pihak perusahaan belum pernah memberikan kewajibannya untuk pembangunan perkebunan plasma seluas 20%. Kebun plasma yang dibangun di Buol adalah adalah lahan milik masyarakat yang tergabung dalam tujuh koperasi plasma, bukan lahan 20% dari HGU perusahaan.

“Lahan seluas kurang lebih 6.746 Ha yang dikuasai PT HIP ini merupakan transmigrasi dan kebun produktif yang kami kelola sebelumnya,” kata Fatrisia, saat menjadi pembicara dalam konferensi pers bertajuk ‘Menuntut Tanggung Jawab PT. HIP Dalam Pemenuhan Hak-hak Petani Plasma di Kabupaten Buol’, yang digelar pada Sabtu (15/7).

Dia memaparkan, hingga saat ini sertifikat lahan belum dikembalikan kepada para petani. “Berdasarkan info pihak perbankan, sertifikat lahan kini telah berada ditangan perusahaan, artinya melakukan talangan kepada perbankan,” ujarnya.

“Kami juga tidak pernah menerima dana bagi hasil rutin sejak 2008 lalu (awal kemitraan dimulai) dari total 15 tahun kerjasama,” tambahnya.

Contohnya, papar Fatrisia, di salah satu koperasi petani plasma hanya menerima tidak sampai 5 juta rupiah saja. Sehingga untuk menutupi kebutuhan harian beberapa dari kami harus bekerja sebagai buruh tempel (Buruh Harian Lepas). “Kami tidak pernah merasakan keuntungan selama bermitra dengan PT HIP,” terang Fatrisia.

Sementara itu, Bupati Buol Periode 2012-2017 dan 2017-2022 dr. H. Amirudin Rauf, Sp.OG,M.Si, menyatakan, perkebunan besar sawit tidak akan memberikan apa-apa justru mendatangkan kemudaratan. “Lebih banyak kemudaratan daripada manfaatnya,” tegas Amirudin.

Dia mengatakan, masuknya modal di sumber-sumber daya alam di perkebunan-perkebunan besar itu tidak akan menciptakan kesejahteraan tapi hanya akan mewariskan kemiskinan kepada generasi penerus. “Di situlah pentingnya negara hadir dalam mengelola sumber daya alam. Negara harus berada di tengah-tengah dan jika bisa berpihak ke rakyat,” kata Amirudin.

Dia menegaskan, sudah saatnya masyarakat Buol menerima kembali apa yang menjadi hak mereka. Saya imbau semua pihak termasuk Pemerintah Daerah dan DPRD Buol untuk terus perjuangkan nasib mereka. Pemerintah daerah harus alokasikan anggaran cukup dalam mengawal kasus ini, agar masyarakat mendapatkan keadilan. Karena hanya dengan dukungan pemerintah perjuangan ini akan berjalan.

“Tak ada gunanya memberikan lahan untuk dijadikan perkebunan besar. Hitungan kita bahwa tanah itu baiknya diberikan kepada rakyat bukan perkebunan besar. Jangan keluarkan rekomendasi kepada perkebunan besar karena akan mendatangkan bencana dan mewariskan kemiskinian. Pertahankan tanah buol, tanah Buol hanya untuk rakyat Buol!” ujar Amirudin.

Dalam kesempatan yang sama Ali, dari Rasamala Hijau Indonesia mengatakan, seharusnya pemerintah hadir karena ini adalah program pemerintah dan semua pihak tahu bahwa ini bermasalah dan jangan ada yang ditutupi. “Mari penuhi hak petani yang semestinya itu adalah hal melekat dan pemerintah harus menjamin itu. Selain itu bagi lembaga menangani kasus ini termasuk PANSUS DPRD Buol, mohon diingat bahwa pundak teman-teman sekalian saat ini nasib ribuan orang dipertaruhkan,” kata Ali.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo, menambahkan, salah satu bentuk konflik tenurial yang sangat tinggi di perkebunan sawit adalah konflik kemitraan. “Hal ini kami nilai akan terus meningkat jika pemerintah tidak mempunyai mekanisme yang efektif dan efisien dalam penyelesaian kasus,” tegasnya.

Konflik kemitraan di PT HIP merupakan salah satu bentuk pembiaran penyelesaian konflik kemitraan oleh para pemangku kebijakan. “Jangan sampai kasus ini berlarut-larut dan menimbulkan dampak merugikan yang semakin besar bagi banyak pihak. Salah satu hal yang perlu dikembangkan adalah usaha skala kecil yang dimiliki petani kecil bukan besar,perusahaan cukup berada di hilir dan bukan berbasis lahan,” ungkap Rambo.

Di akhir acara Fatrisia menyampaikan, utang petani plasma, jika digabungkan dari beberapa koperasi bisa mencapai satu triliunan lebih. “Kami ingin kejelasan atas utang kami ini tolong dirincikan, jelaskan dan diupdate bagaimana utang ini bisa terjadi,” keluhnya.

“Hingga saat ini tidak ada ganti rugi yang diberikan kepada pemilik lahan atas pengubahan lahan produktif kami menjadi kebun plasma yang dilakukan perusahaan tanpa persetujuan kami sejak 2008 lalu dimana awal kerjasama kemitraan dimulai,” tambah Fatrisia.

Dia menegaskan, para petani plasma hanya ingin, jika memang perusahaan menganggap kerja kemitraan dan kebun plasma ini merugikan mereka, maka, lebih baik kerjasama tersebut diputus, dan lahan petani plasma dikembalikan. “Jangan kami selalu diperhadapkan jawaban tidak pasti, kriminalisiasi dan intimidasi. Kami juga minta siapapun yang mengatasnamakan perjuangan kami disini, bekerja dengan tulus dan benar jangan ada kongkalikong yang menguntungkan pihak tertentu,” kata Fatrisia.

“Kami minta kepada Pansus DPRD Buol jika masih mau bekerja untuk kami serius lah jangan jadikan permasalahan dan penderitaan kami ini sebagai alat tawar menawar demi keuntungan sepihak,” pungkas Fatrisia.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.