Konflik Yaman: Kisah Pilu Para Pengungsi

Rumah-rumah yang hancur akibat peperangan di Yaman (dok. oxfam.org)
Rumah-rumah yang hancur akibat peperangan di Yaman (dok. oxfam.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Empat tahun konflik di Yaman berlangsung, Bassim, salah seorang warga Yaman, terpaksa hidup dan bekerja di periode yang sangat buruk dalam sejarah Yaman itu. “Sangat tidak mungkin untuk tidak mengkhawatirkan negara saya dan penderitaan manusia yang diciptakan oleh perang ini. Karena itu saya ingin berbagi kisah saya,” kata Bassim lewat sebuah surat elektronik yang diterima Villagerspost.com, Senin (20/4).

Konflik terkini, kata dia, menyebabkan 640 orang terbunuh, termasuk 300 orang warga sipil. Selebihnya sekitar 2.200 orang terluka. “Sebagai akibat dari konflik ini saya terpaksa memindahkan anak dan istri saya dari Sana’a ke desa dimana dulu saya tumbuh,” lanjut Basim.

Memindahkan keluarga pada saat dimana tidak ada bahan bakar dan jalanan yang aman untuk dilalui adalah sebuah tragedi baginya. “Anak-anak saya menangis sepanjang jalan dan istri saya sangat ketakutan akan terjadi perubahan situasi yang mendadak di tengah berkecamuknya perang,” ujarnya.

Sebelum krisis ini, lebih dari 60 persen populasi Yaman (sekitar 16 juta orang) sudah sangat membutuhkan bantuan. Sekarang penduduk malah menghadapi perubahan peruntungan yang lebih drastis. Mereka yang telah melarikan diri dari rumah, pendapapatan rata-rata bulanan untuk kebutuhan rumah tangganya merosot hingga ke angka 96 persen.

“Hidup saya berubah seluruhnya. Di desa saya, saya harus berusaha dan mendapatkan tepung serta makanan lain untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan juga bahan bakar. Ini adalah cerita umum yang bisa saya temui di seluruh negeri,” kata Bassim.

Bahkan sebelum konflik terjadi sekitar 10 juta rakyat Yaman sudah kesulitan mendapatkan makanan untuk hidup, termasuk 850.000 anak yang mengalami kekurangan gizi. “Di beberapa daerah bahkan kami sudah mencapai level kekurangan gizi akut,” ujar Bassim.

“Banyak hal berubah sekarang. Air bersih menjadi masalah besar buat kami, seiring sistem pengairan berhenti akibat krisis bahan bakar minyak,” ujarnya menambahkan.

Bahkan sebelum krisis, lebih dari 13 juta rakyat Yaman tidak memiliki akses untuk mendapatkan air bersih. “Siapa yang tahu seberapa banyak yang tak punya akses itu sekarang?” tanya Bassim retoris.

Bassim mengeluh anaknya tak lagi bersekolah. “Istri saya seperti kebanyakan perempuan lainnya sekarang menanggung tanggung jawab baru yang sulit. Bahkan pekerjaan sederhana seperti memasak saat ini menjadi semakin sulit,” keluhnya.

Perubahan yang dialami keluarganya, kata Bassim, sangat-sangat keras. “Saya sekarang harus bekerja dari rumah, berupaya menyediakan kebutuhan keluarga pada saat yang bersamaan juga memikirkan rumah kami di Sana’a dan khawatir kelompok kriminal akan mendobrak masuk dan mencuri milik kami, saat kami pergi,” kata Bassim.

Selain itu, kata Bassim, seperti yang tradisi masyarakat Yaman, dia tidak hanya menanggung hidup keluarga intinya saja seperti istri dan anak, tetapi juga keluarga jauhnya yang beranggotakan 20 orang. “Kamu bisa bayangkan seberapa besar tanggung jawab ini dan anda juga bisa membayangkan bagaimana pendapatan saya sangat terpukul oleh kenaikan harga makanan dan kelangkaan barang kebutuhan untuk dibeli,” ujar Bassim.

Kini, dia hanya bisa berharap untuk kembali bisa bekerja di Sana’a sesegera mungkin.

Konflik di Yaman telah memaksa ribuan orang meninggalkan rumah-rumah mereka, termasuk staf lembaga internasional yang bekerja memberikan bantuan kemanusiaan di sana, seperti Oxfam. Hal ini telah mendorong negara tersebut pada keruntuhan ekonomi dan membuat kehidupan semakin sulit bagi 16 juta orang yang sebelumnya telah menggantungkan hidup pada bantuan kemanusiaan.

Nasib yang dialami Bassim, juga dialami oleh Tamara. “Rumah saya hanya berjarak 1 kilometer dari lokasi pertempuran. Keluarga kami mengubah ruangan di basemen rumah kami sebagai tempat aman. Kami telah membawa kebutuhan dasar seperti makanan, air, lilin, selimut dan pakaian,” kata Tamara melalui surat elektronik yang diterima Villagerspost.com, Senin (20/4).

Keluarga Tamara juga membawa buku untuk dibaca dan bermain game untuk mengalihkan perhatian dari keriuhan perang. “Kami berlari ke ruang aman setiap kali mendengar suara tembakan senapan, artileri dan bom,” ujarnya.

Sejujurnya, kata Tamara, sangat tidak mudah bagi keluarga dan dirinya menghadapi situasi yang sangat menakutkan di Yaman. “Situasi ini mempengaruhi kehidupan kami sehari-hari. Kami semakin kehilangan harapan seiring situasi semakin memburuk tanpa solusi segera,” ujarnya.

Tamara bercerita, terakhir kali mereka pergi ke pasar adalah tiga pekan lalu. Pertempuran yang meningkat di Aden telah membatasi pergerakan untuk keluar rumah bagi siapa saja. “Terkadang kami bahkan tidak bisa pergi ke toko grosir terdekat karena kami takut terbunuh atau terluka berat,” ujar Tamara.

Kebanyakan toko grosir, restoran dan toko roti tutup. Toko grosir terdekat dari rumah Tamara buka secara terbatas dan jaraknya hampir 10 kilometer dari rumah.

Di Aden, makanan dan komoditas lainnya di pasar lokal juga semakin langka seiring para pedagang tak mampu menyediakan stok dagangannya. Sebagai tambahan, harga-harga juga meningkat mencapai 40 persen terutama tepung yang merupakan makanan pokok warga Yaman.

“Kami tidak mampu membeli cukup makanan untuk dimakan saat ini. Sebelum konflik sekarang, kami membelanjakan sekitar YER10.000 per minggu, sekarang meningkat hingga YER30.000,” ujar Tamara.

Akibat krisis bahan bakar, penerangan listrik juga kerap diputus dan itu berdampak pada pompa air. Kekurangan air dialami oleh setiap rumah tangga saat ini.

“Keluarga saya menyimpan tujuh kotak persediaan air mineral. Persediaan ini akan segera habis dan kami tak punya opsi lain selain mendapatkan air dari sumber lain yang umumnya tidak aman dari aliran air dan sumur yang tak terawat,” keluh Tamara.

Sebagai tambahan, situasi ini juga menambah tekanan pada sistem sanitasi dan sistem kebersihan yang semakin melemah. Hal ini membawa dampak buruk pada ribuan warga sipil termasuk anak-anak agar tidak terkena penyakit. “Dan kami juga kehabisan obat-obatan,” ujarnya.

“Kami sangat takut akan pertempuran menggunakan senjata berat dan bom. Peluang kami terkena tembakan karena kami berada di tempat dan waktu yang salah semakin tinggi,” lanjutnya.

Belum lagi masalah penghancuran sekolah-sekolah dan rumah sakit. Yaman, kata Tamara, sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan sesegera mungkin.

“Komunitas internasional harus membantu untuk menghentikan peperangan dan mencegah terjadinya pertumpahan darah lebih lanjut. Apa yang saya harapkan untuk saat ini adalah perang segera berakhir,” harap Tamara. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.