Korban Kriminalisasi, Tiga Petani Kendal Divonis 8 Tahun Penjara, Denda Miliaran Rupiah
|
Kendal, Villagerspost.com – Tiga orang petani asal Desa Surokonto Wetan, Pageruyung, Kendal, Jawa Tengah yang didakwa merusak hutan, dijatuhi hukuman masing-masing 8 tahun penjara dan denda masing-masing Rp10 miliar. Vonis itu dijatuhkan oleh majelis hakim PN Kendal, Rabu (18/1).
Ketiga petani tersebut, Nur Aziz, Sutrisno Rusmin dan Mujiono dinilai majelis hakim telah terbukti melanggar Pasal 94 Ayat (1) huruf a dan b UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Putusan hakim tersebut tidak bulat karena ada dissenting opinion atau pendapat berbeda dari ketua majelis hakim.
Ketua majelis hakim Jeni Nugraha menilai, masih ada upaya persuasif yang dapat dilakukan Perhutani agar warga dapat menggarap di lahan yang disengketakan tersebut. Tetapi Jeni tetap berpendapat, perbuatan ketiga terdakwa menggarap lahan tanpa izin merupakan perbuatan pidana.
Untuk itu, Jeni tetap menjatuhkan vonis kepada para terdakwa. Terdakwa Nur Aziz oleh Jeni diganjar pidana selama 3 tahun, sementara terdakwa Sutrisno Rusmin dan terdakwa Mujiono dihukum masing masing 2 tahun. Namun dalam voting majelis hakim, suara Jeni kalah dari hakim anggota Monita Sitorus dan Ari Gunawan.
Akhirnya majelis memutuskan, ketiganya divonis delapan tahun penjara dan denda Rp10 miliar, subsidair enam bulan penjara. Vonis tersebut sama dengan tuntutan jaksa.
Menanggapi vonis tersebut, kuasa hukum para terdakwa, Kahar Muamalsyah menyatakan akan mengajukan banding. “Atas putusan tersebut kami dari Tim Kuasa Hukum akan mengajukan banding sebagai upaya hukum yang akan kami tempuh,” ujar Kahar usai persidangan.
Kahar menilai putusan ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap petani. Dia menegaskan, ada kejanggalan dalam putusan hakim, karena menafikan hak warga yang tinggal di sekitar hutan untuk mengelola hutan dan harusnya dikecualikan dari ancaman pidana dalam UUP3H. Namun, majelis hakim hanya menganggap hak dan pengecualian itu hanya melekat pada masyarakat adat.
“Majelis hakim dalam putusannya gagal memahami tentang ketentuan dalam pasal pidana dalam UU PPPH, hal ini terlihat dengan pendapat majelis hakim yang menyebutkan pengecualian pemidanaan hanya diperuntukkan pada masyarakat adat. Padahal masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan dalam hal ini masyarakat desa Surokonto seharusnya juga masuk kedalam pengecualian pidana,” tegasnya.
Lebih lanjut lagi, Kahar menjelaskan Pasal 11 Ayat (3) UU P3H dengan sangat jelas menyebutkan pada pokoknya ancaman pidana tidak ditujukan kepada kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar hutan yang melakukan perladangan tradisional. Karena itulah, ketiga petani yang dikriminalisasi itu menyatakan banding.
Kriminalisasi terhadap tiga orang Petani Serokonto Wetan itu sendiri bermula saat lahan garapan warga secara sepihak ditetapkan sebagai kawasan hutan melalui SK Menhut No: SK.0321/Menhut-VII/KUH/2014, tertanggal 17 April 2014. Penetapan kawasan hutan itu sendiri lahir setelah sebelumnya lahan garapan masyarakat dijadikan objek lahan pengganti (tukar guling) kawasan hutan yang dipakai oleh PT Semen Indonesia di Rembang untuk pendirian Pabrik Semen.
Akibatnya, warga yang telah puluhan tahun mengelola dan memanfaatkan lahan kini telah menyandang status sebagai terpidana. Mendengar vonis yang dijatuhkan hakim, warga Desa Sukoronto yang hadir menyaksikan jalannya sidang langsung menjerit histeris. Mereka menangis dan menilai putusan hakim sangat tidak adil.
Sementara, atas putusan itu, Jaksa Penuntut Umum Arjuna Tambunan menyatakan belum akan mengambil keputusan dan akan mempelajari dulu putusan hakim. Kejaksaan juga belum akan melakukan penahanan terhadap ketiga terpidana karena belum ada penetapan dari majelis hakim. (*)