KPA: Infrastruktur Harus Mengkoneksikan Pusat-Pusat Produksi Milik Rakyat
|
Jakarta, Villagerspost.com – Selain mengkritik visi agraria Jokowi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga mengkritik pidato Jokowi soal pentingnya melanjutkan dan mengembangkan pembangunan infrastruktur sebagai penghubung dari pusat-pusat produksi (swasta) dan pertumbuhan ekonomi. KPA menilai visi soal infrastruktur juga penting diluruskan.
“Dengan mengarahkan visi investasi pada pembesaran dan penguatan usaha-usaha milik rakyat, sebagaimana diuraikan di atas, maka pembangunan infrastruktur harus diarahkan sebagai penopang pertanian dan perkebunan milik rakyat,” kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (19/7).
Infrastruktur, kata Dewi, bukan pembuka jalur dan fasilitas bagi masuknya investasi raksasa merebut sumber-sumber agraria masyarakat dan desa-desa. “Bukan pembangunan infrastruktur yang meluruhkan modal sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat,” tegasnya.
Selain itu, narasi anti-infrastruktur, anti-pembangunan dan anti investasi sebagai stigma yang terus-menerus dihembuskan aparat dan pejabat birokrat hingga kelompok bisnis terhadap keberatan dan protes masyarakat harus ditinggalkan. “Apabila rakyat mengajukan keberatan terhadap proyek-proyek pembangunan yang mengancam wilayah hidupnya, maka prinsip menghormati hak konstitusi agraria dari setiap warga negara, prinsip pemenuhan rasa keadilan, prinsip tanah memiliki fungsi sosial dan kemanusiaan lah yang perlu dikedepankan,” papar Dewi.
Tercatat dalam 15 tahun terakhir, kejadian konflik agraria dan jatuhnya korban kekerasan akibat proyek pembangunan infrastruktur dan proses pembebasan tanahnya termasuk yang signifikan.
Proses-proses pengadaan dan pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan proyek strategis lainnya, perlu direformasi menyeluruh dengan membersihkannya dari praktek-praktek rente, pungli, tertutup (suasana ketidakpastian), manipulatif, koruptif, memaksa hingga represif.
Keterlibatan aktif masyarakat atas rencana pembangunan, pengambilan keputusan, hak berkeberatan yang dijamin UU, informasi resiko-resiko yang perlu disadari sejak dini oleh warga terdampak, serta ragam alternatif solusi yang ditawarkan merupakan elemen penting. Dengan begitu, sebagai cara baru maka proyek-proyek infrastruktur ke depan bukan sekedar cepat dari sisi pengadaan dan pembebasan tanah, atau memuaskan iklim investasi dan bisnis besar, akan tetapi harus dijamin HAM dari masyarakat yang terdampak.
Dewi menegaskan, visi pembangunan infrastruktur Indonesia sejati adalah jika pembangunan infrastruktur menjadi penopang pusat-pusat produksi milik rakyat, jika pembangunan infrastruktur betul-betul untuk mengalirkan hasil-hasil panen petani, membuka pasar bagi masyarakat agar terus berkembang, dan jalan untuk mempermudah pembangunan irigasi dan menyalurkan teknologi pengairan ke wilayah-wilayah pertanian dan kebun rakyat yang mengalami krisis kekeringan.
“Jika infrastruktur menopang jangkauan layanan publik pemerintah untuk mengaliri desa-desa dengan inovasi energi listrik terbarukan, dan bukan pembangunan infrastruktur yang mempercepat bekerjanya kapitalisme agraria di desa-desa, maka itulah visi baru pembangunan infrastruktur Indonesia!” pungkasnya
Editor: M. Agung Riyadi