KPA Kecam Kriminalisasi Terhadap Petani Jambi

Aktivis dan petani menuntut penuntasan konflik agraria (dok. jatam.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengecam keras tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh Polres Tanjung Jabung Timur, Jambi terhadap Thawaf Aly, pengurus Persatuan Petani Jambi (PPJ). Diduga Thawaf, yang juga anggota KPA itu, dikriminalisasi terkait aktivitasnya mendampingi warga Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi yang menjadi korban perampasan tanah oleh PT Erasakti Wira Forestama (PT EWF).

Thawaf Aly dipanggil sebagai tersangka atas tuduhan melanggar Pasal 55 Huruf a Jo pasal 107 Huruf a Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, tindakan kriminalisasi yang dialami oleh Thawaf Aly menandakan belum berubahnya pendekatan pemerintah dalam menangani konflik agraria.

“Pelibatan aparat seperti kepolisian dan TNI masih mewarnai penanganan konflik-konflik agraria di tanah air. Pendekatan tersebut terbukti justru semakin memperkeruh situasi dan menambah korban di pihak rakyat,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (24/10).

Konflik lahan antara masyarakat Desa Merbau dan PT EWF ini bermula dari klaim PT EWF yang menyatakan telah membeli tanah seluas 406 hektare di Desa Merbau. Padahal 45 warga desa yang menggarap 68 hektare lahan di desa tersebut tidak pernah menjual lahan mereka ke PT EWF.

Selain itu, pada tanggal 5 Desember 2012, tanah seluas 406 hektare di Desa Merbau tersebut telah dibuktikan secara yuridis sebagai milik warga desa melalui Tim Penyelesaian Sengeketa Lahan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Atas dasar masalah ini warga yang merasa dirugikan memberikan surat kuasa kepada Thawaf Aly sebagai sebagai pengurus PPJ (Persatuan Petani Jambi) untuk mengurus persoalan lahan mereka yang digarap oleh PT EWF.

Bulan Januari 2018, 45 warga desa tersebut sepakat untuk menduduki kembali lahan mereka yang diklaim oleh perusahaan. Pasca peristiwa itu, telah diadakan beberapa kali pertemuan dengan Kantor Pertanahan Tanjung Jabung Timur pada tanggal 6 Agustus 2018 dan Kanwil BPN Jambi pada tanggal 17 Juli 2019. Namun dari pertemuan itu belum menemui kata sepakat dimana warga meminta tanah mereka dikembalian.

Di tengah kebuntuan tersebut, pihak perusahaan terus mengajukan HGU di atas lahan tersebut, dan baru disetujui seluas 372,82 hektare pada tanggal 30 Juli 2018 dari 406 hektare yang mereka ajukan. Warga menilai ada kejanggalan seperti pemalsuan data yang dilakukan pihak desa bersama PT EWF.

Hal ini ditandai tidak transparansnya proses penerbitan HGU PT EWF. Ditambah klaim perusahaan yang menyatakan telah memberikan uang ganti kerugian kepada warga. Padahal mereka tidak pernah menyatakan menyerahkan lahan tersebut, apalagi menerima ganti kerugian dari perusahaan.

Terkait konflik agraria ini, sejak 2015 hingga 2018, KPA mencatat sebanyak 940 petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 546 orang mengalami penganiayaan, 51 orang tertembak dan 41 diantaranya tewas. “Selain itu, proses pemberian HGU kepada perusahaan selama ini sering diiringi praktik manipulatif dan tidak transparan sehinga melahirkan konflik agraria berkepanjangan,” tegasnya.

Periode 2015–2018, terjadi 642 letusan konflik agraria di berbagai wilayah di Indonesia. Dewi mengatakan, selama lima tahun terakhir, pemerintah Jokowi hanya disibukkan kegiatan bagi-bagi sertifikat tanpa menyasar akar masalah agraria di Indonesia, yakni penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah kepada masyarakat untuk merombak struktur agraria nasional yang sudah sangat timpang.

Atas situasi di atas, KPA meminta kepada Kementrian ATR/BPN dan Kepolisian Republik Indonesia mengambil beberapa lanngkah. Pertama, mendesak Kepolisian Resort Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi segera mencabut status tersangka Thawaf Aly. Kedua, mendesak Kapolri segera mengimbau seluruh jajarannya untuk tidak melakukan tindakan represif dan kriminalisasi, serta menarik mundur seluruh aparat kepolisian dari wilayah konflik agraria.

Ketiga, mendesak Kementrian ATR/BPN segera melakukan evaluasi dan menindak tegas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Erasakti Wira Forestama (EWF) yang telah menyerobot tanah 45 Kepala Keluarga (KK) warga Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Keempat, mendesak Kementrian ATR/BPN memprioritaskan penyelesaian konflik dan redistribusi tanah di wilayah-wilayah konflik agraria, salah satunya Desa Merbau.

“Demikian pernyataan sikap ini kami buat agar bisa menjadi perhatian semua pihak. KPA juga menyerukan kepada seluruh organisasi tani dan elemen gerakan reforma agraria lainnya agar terus mendorong dan mengawal pelaksanaan reforma agraria dari nasional hingga daerah,” pungkas Dewi.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.