Lahan Mau Dirampas, Petani dan Nelayan Batang Somasi Ganjar Pranowo

Warga melakukan aksi menolak pembangunan PLTU Batang (dok. greenpeace)
Warga melakukan aksi menolak pembangunan PLTU Batang (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Puluhan orang perwakilan warga Paguyuban UKPWR melayangkan somasi kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Somasi ini dilayangkan terkait dengan diterbitkannya surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/35 Tahun 2015 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 M2 Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2×1.000 MW di Kabupaten Batang.

Surat somasi itu diserahkan kepada Ganjar Pranowo bersamaan dengan aksi penolakan terhadap rencana pembangunan PLTU batubara Batang yang dilakukan warga di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, hari ini, Kamis (6/8). Surat itu diserahkan oleh perwakilan warga.

“Kami masyarakat petani yang menggantungkan hidup dari lahan pertanian untuk menghidupi keluarga, membiayai keperluan sekolah anak-anak kami dan untuk memenuhi keperluan lainnya, menolak keras atas rencana Pembangunan PLTU batubara Batang karena keberadaan lahan pertanian sangat penting bagi kelangsungan hidup kami,” ucap Karomat,  salah seorang pemilik lahan di desa Ujungnegoro dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (6/8).

Karomat menambahkan bahwa lahan yang akan dipilih sebagai lokasi untuk pembangunan PLTU tersebut merupakan lahan pertanian produktif yang telah dikelolanya sejak lama dan turun-temurun hingga sekarang. Hasil pengelolaan lahan tersebut dapat mencukupi kebutuhan keluarganya dengan sejahtera.

Mereka khawatir tanah yang menjadi gantungan hidup itu akan terampas. Pasalnya, berdasarkan SK Gubernur Jateng Nomor 590/35 Tahun 2015 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Juni 2015, PT PLN (Persero) akan melakukan pembebasan lahan yang masih dikuasai oleh masyarakat melalui ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia Desriko mengatakan, penerbitan SK GUbernur Jateng Nomor 590/35 Tahun 2015 beserta lampirannya itu secara nyata telah melakukan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Tindakan Gubernur Jawa Tengah yang menetapkan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2×1.000 MW di atas tanah milik masyarakat tanpa terlebih dahulu melakukan sosialisasi dan konsultasi yang melibatkan pihak yang berhak, melanggar UU No. 2 tahun 2012.

Beleid itu mengatur, pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan oleh pemerintah atas proyek yang direncanakan oleh pemerintah sendiri. Proyek itu harus dimuat terlebih dahulu dalam dokumen rencana pembangunan yang dilakukan oleh instansi yang memerlukan.

Selain itu dananya harus bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sementara PLTU Batang adalah investasi swasta. Desriko mengatakan, hubungan PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) dengan PT PLN (Persero) hanya sebatas hubungan sebagai penjual dan Pembeli.

“Investasi ini murni kepentingan swasta atau kepentingan bisnis. Maka terhadap hal itu, Gubernur Jawa Tengah selaku Pemerintah tidak tepat mengeluarkan kebijakan penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang akan digunakan oleh BPI, dan itu jelas-jelas melanggar hukum,” tegasnya.

Setelah mengumumkan secara resmi kondisi force majeure, terkait ketidaksanggupannya untuk melakukan pembebasan lahan di desa Karangeneng, Ujungnegoro dan Ponowareng, kini pihak PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) meminta bantuan PT PLN (Persero) untuk melakukan pembebasan sisa lahan yang masih dikuasai masyarakat. Hal itu tertuang dalam perubahan ke 4 (empat) Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara Bhimasena Power Indonesia dengan PLN.

Dokumen itu ditandatangani pada tanggal 16 Februari 2015 yang lalu. PT Bhimasena Power Indonesia merupakan perusahaan gabungan (Joint Venture) dari tiga perusahaan yakni Electric Power Development Co., Ltd. (J-Power), perusahaan yang berbasis di Tokyo-Jepang dengan kepemilikan saham sebesar 34 persen, PT Adaro Power, perusahaan yang berbasis di Indonesia dengan kepemilikan saham sebesar 34 persen dan ITOCHU Corporation, perusahaan yang berbasis di Tokyo-Jepang dengan kepemilikan saham sebesar 32 persen.

Keputusan Pemerintah untuk mengambil alih proses penyelesaian pembebasan lahan untuk PLTU Batang tidak membuat masyarakat surut mempertahankan lahan mereka. Masyarakat terus melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan tersebut, hingga melakukan keberatan langsung kepada calon penyandang dana utama proyek ini yaitu Japan Bank International Cooperation (JBIC) di Tokyo, Jepang, baru-baru ini.

Penyerahan surat protes secara resmi kepada JBIC oleh warga Batang itu disaksikan anggota parlemen Jepang, dua eksekutif dari Kementerian Ekonomi Perdagangan dan Industri (METI), dua dari Kementerian Tenaga Kerja Jepang serta satu orang dari Kementerian Luar Negeri Jepang. Penyerahan itu juga disaksikan oleh beberapa orang perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan dan Hak Asasi Manusia di Jepang.

Di akhir pertemuan pihak JBIC menyatakan akan meninjau ulang rencana pendanaan proyek energi kotor ini dan akan melakukan peninjauan ulang di lapangan serta melihat kenyataan yang ada di Batang dalam beberapa waktu mendatang. Hasil peninjauan itu dapat berujung pada penundaan atau pembatalan rencana JBIC untuk mendanai PLTU Batang.

Hingga kini perjuangan masyarakat Batang untuk menolak pembangunan PLTU Batang telah berlangsung selama empat tahun. Hingga kini sekitar 71 pemilik tanah tetap bertahan untuk tidak akan menjual lahannya kepada PT Bhimasena Power Indonesia atau PT PLN (Persero).

Rencana pembangunan PLTU Batang ini sendiri telah banyak menciptakan persoalan di tengah-tengah masyarakat, mulai dari tindakan kekerasan, ancaman, krimininalisasi dan tekanan terhadap pemilik lahan di Desa Karangeneng, Ujungnegoro dan Ponowareng. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.