Langkah Awal Jokowi-JK Terkait Kebijakan Pangan, Tentukan Nasib Kedaulatan Pangan

Petani Skala Kecil Kerap Menjadi Korban Ketidakadilan (Dok. Villagerspost.com)
Petani Skala Kecil Kerap Menjadi Korban Ketidakadilan (Dok. Villagerspost.com)

 

Jakarta, Villagerspost.com – Sepuluh tahun sudah pemerintah RI abai terhadap hak atas pangan rakyatnya. Hal ini ditandai diantaranya dengan impor pangan yang semakin meningkat, harga pangan yang sulit terjangkau masyarakat miskin, berkurangnya 5 juta lebih penghasil pangan.

Kini pemerintahan Presiden Joko Widodo wajib segera memenuhi hak atas pangan, hak dasar tiap manusia dan memenuhi janjinya dalam Nawa Cita. Langkah awal Jokowi akan menentukan apakah kedaulatan pangan dapat diwujudkan dalam pemerintahannya.

“Memang tidak semudah membalik telapak tangan memenuhi hak atas pangan ditengah situasi yang serba krisis dan terbatas ini. Sehingga langkah awal Jokowi-JK menjadi penting sebagai dasar untuk membenahi kondisi darurat pangan ini,” kata Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera di acara diskusi memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia 2014, Selasa (9/12).

Perlu diingat, hak atas pangan adalah salah satu hak yang paling mendasar yang diakui PBB. Hak ini dapat diartikan sebagai hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap, dan bebas, baik secara langsung atau dengan membeli, atas pangan yang memadai dan cukup baik secara kualitatif dan kuantitatif, yang berhubungan secara langsung pada tradisi masyarakat di mana suatu konsumsi itu berasal. Karena itu pemerintah wajib memastikan pemenuhan hak-hak tersebut.

Tejo mengingatkan, negara mempunyai peran penting karena memiliki otoritas serta kapasitas untuk mengkonsolidasikan sumberdaya ekonomi dan politik demi kepentingan pemenuhan hak atas pangan. “Negara wajib untuk menghargai, melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya terutama para produsen skala kecilnya dan konsumen dalam negeri,” ujarnya.

Berdasarkan konstitusi Pasal 33 UUD 1945, peran negara dalam rangka pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya, khususnya hak atas pangan, memandatkan bahwa produksi pangan adalah cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara. Namun menurut Tejo, selama ini pemerintah tidak serius menegakkan pemenuhan hak atas pangan, dengan pilihan kebijakan yang membuat kondisi pangan Indonesia terus memburuk. Dan kedualatan pangan-lah yang dijanjikan oleh JKW-JK untuk mensejahterakan Indonesia.

Tejo menyadari sejauh ini memang belum ada dokumen resmi (RPJMN), yang akan menjadi arah pembangunan pemerintahan JKW-JK. Tetapi pernyataan yang dikeluarkan Jokowi-JK dan langkah menteri-menterinya dapat menjadi “petunjuk” apakah pemenuhan hak atas pangan berjalan kearah kedaulatan pangan. “Swasembada pangan dalam 3 tahun, diucapkan oleh JKW-JK, tetapi bagaimana caranya, itu yang lebih penting,” ujar Tejo.

Misalnya, langkah Susi, Menteri Kelautan dan Perikanan untuk membenahi nasib petani garam, belum mendapatkan dukungan yang cukup bahkan keterbukaan dari Kementerian yang lain. “Harusnya, ini segera dibenahi, koordinasi antara kementrian terkait, karena impor garam yang merugikan rakyat kecil khususnya petambak garam kecil,” ujar Tejo.

Hal yang sama terjadi pada pemenuhan daging sapi. Bermaksud swasembada sapi, tetapi diawali dengan rencana menerbitkan izin impor 264 ribu ekor sapi pada kuartal keempat 2014. “Sudah seharusnya dipikirkan sejak awal peta jalan kedaulatan pangan Indonesia,” ujar Tejo menegaskan.

Sementara itu Achmad Surambo, dari Pokja Sawit Aliansi Desa Sejahtera mengingatkan lagi, pusat dari kedaulatan pangan adalah kesejahteraan produsen pangan skala kecil. “Pertarungannya bukan hanya berapa banyak luas tanaman pangan yang akan dipertahankan atau dicetak, tetapi juga pada jenis tanaman apa yang didukung untuk dapat tumbuh, bagaimana benih dan berbagai asupan lainnya disediakan. Apakah petani harus tergantung lagi, atau ada langkah lain yang menjamin kebebasan petani untuk menghasilkan pangan secara berkelanjutan?” kata Achmad.

Achmad mengingatkan, situasi saat ini dengan ditolaknya gugatan masyarakat sipil terhadap UU Pangan, khususnya terkait dengan benih transgenik menunjukkan arah yang salah dalam meletakkan landasan kedaulatan pangan. “Bagaimana mungkin ketergantungan dapat menghasilkan kemandirian?” ujarnya.

Keinginan untuk tiap tahun membangun bendungan, 5-7 per tahunnya, artinya sekitar 25-35 bendungan dalam 5 tahun harus benar-benar memperhitungkan berbagai aspek, bukan hanya teknis maupun lingkungan tetapi juga sosial dan pendanaannya. “Proyek-proyek besar harus membawa kesejahteraan bagi produsen pangan skala kecilnya, bukan sebaliknya,” tegas Achmad.

Sejak awal JKW-JK harus segera tegas menetapkan langkah-langkah menuju kedaulatan pangan, terutama dengan terbatasnya anggaran yang tersedia. Kepemimpinan yang kuat,  koordinasi ketat, dan prioritas harus diberlakukan, agar tiap-tiap kementerian memiliki tujuan yang sama, sehingga kedaulatan pangan dapat segera tercipta.

Pemerintah harus taat konstitusi dan menggunakan secara cerdas instrumen-instrumen untuk mewujudkan kedaulatan pangan seperti UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Pangan, UU Pengesahan Kovenan Ekosob dan lainnya.

Tejo mengatakan, karena hak atas pangan adalah hak dasar bagi semua orang, sehingga meskipun ditengah situasi politik yang saling jegal dan anggaran yang ketat, JKW-JK wajib memberikan, penghargaan, perlindungan dan pemenuhan kebutuhan pangan baik produsen pangan skala kecil maupun konsumen. “Salah langkah di awal dapat meruntuhkan cita-cita tentang Kedaulatan Pangan, dan bisa jadi Indonesia tidak akan pernah dapat keluar dari krisis pangan,” tegas Tejo. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.