Larangan Cantrang Timbulkan Konflik Horizontal
|
Jakarta, Villagerspost.com – Pemberlakuan larangan penggunaan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik atau secraa tradisional disebut cantrang, ternyata telah menimbulkan konflik horizontal di antara para nelayan. Hal ini ditengarai lantaran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tak maksimal dalam memfasilitasi dan memberikan solusi atas perpanjangan moratorium Permen Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik.
Adanya konflik horizontal itu terungkap ketika tim dari KKP mewancarai enam orang nelayan cantrang yang berharap adanya solusi efektif dari negara pada masa peralihan alat tangkap cantrang. Mereka adalah yakni Kusmiyanto, Muhammad Maftuh, Eko Santoso, Tri Hariyanto, Mahmudi dan Suwardi.
Namun pasca video wawancara keenam nelayan tersebut diunggah di Channel Youtube, Kusmiyanto diintimidasi oleh oknum yang pro terhadap cantrang. Pada tanggal 21 Januari 2017, Kusmiyanto dipanggil ke Balai Desa Tanjungsari, Rembang, Jawa Tengah tanpa didampingi oleh siapapun dan “disidang” oleh kelompok pro cantrang. Kusmiyanto diancam akan dibunuh, dibakar dan dipukul oleh helm.
“Inisiatif yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mendorong pengelolaan pesisir Indonesia yang berkelanjutan melalui Permen Nomor 2/PERMEN-KP/2015 sebenarnya cukup baik, namun KIARA menilai perlu ada upaya konkret dari KKP dalam masa transisi ini. Karena masyarakat menjadi rentan terlibat konflik sesama nelayan,” kata Pelaksana Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Arman Manila, alam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Senin (23/1).
Di Rembang, Jawa Tengah nelayan terpaksa tetap melaut di atas 12 mil dengan menggunakan cantrang, sementara aturan moratorium dalam masa transisi penggunaan alat cantrang hanya memperbolehkan melaut di bawah 12 mil. Di tahun 2016, Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat 30 kasus penangkapan nelayan yang terpaksa melaut di atas 12 mil agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
“Penangkapan nelayan memberikan implikasi bagi kehidupan masyarakat pesisir, nelayan menjadi takut untuk melaut, meningkatnya jumlah nelayan yang terjebak dalam skema hutang, dan maraknya nelayan yang beralih profesi,” kata Arman.
Di sisi lain, sepanjang tahun 2016, 90% nelayan di Kendal, Jawa Tengah telah beralih profesi dari nelayan cantrang menjadi ABK atau pekerja perikanan baik di kapal asing maupun kapal nasional. Hal ini diperburuk dengan belum adanya payung perlindungan dari negara untuk pekerja perikanan Indonesia.
KIARA menilai konflik horizontal yang terjadi di masyarakat khususnya antara pengguna cantrang harus segera disikapi oleh KKP. Terlebih lagi hari Senin, 23 Januari 2017 ini, keenam nelayan cantrang yang diwawancarai oleh KKP akan “disidang” oleh warga yang pro cantrang.
“Ini menjadi catatan penting bagi kita semua, di tingkat masyarakat terbagi jadi dua kubu dan pemerintah wajib segera memberikan solusi dan perlindungan bagi nelayan Indonesia,” pungkas Arman.
Ikuti informasi terkait larangan cantrang >> di sini <<