Larangan Eksploitasi Gambut Cara Terbaik Atasi Perubahan Iklim
|
Jakarta, Villagerspost.com – Greenpeace menyambut baik kebijakan baru pemerintah Indonesia yang segera melarang pembukaan dan eksploitasi gambut di seluruh Indonesia dan memerintahkan penutupan kanal-kanaluntuk menaikkan permukaan air tanah hingga mendekati permukaan gambut untuk menghindari kebakaran lahan gambut. Kebijakan ini juga melarang penanaman baru di lahan yang terbakar, namun mengharuskan upaya restorasi di wilayah tersebut dan melakukan investigasi dan tindak pidana pembakaran hutan.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Yuyun Indradi mengatakan, langkah yang diambil Presiden Jokowi adalah langkah tepat dalam mengantisipasi kebakaran pada tahun mendatang dengan melarang ekspansi perkebunan sawit di lahan gambut, dan meminta saluran kanal-kanal untuk disekat. Namun hal ini juga perlu diperkuat dengan memastikan bahwa lahan yang terbakar harus direhabilitasi bukan ditanamani dengan kelapa sawit.
“Hal itu juga hanya akan berhasil apabila seluruh tingkat pemerintahan di Indonesia menjalankan kebijakan baru ini,” kata Yuyun dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Selasa (10/11).
Greenpeace mendesak perusahaan HTI dan kelapa sawit untuk menjalankan instruksi baru pemerintah ini. Greenpeace juga memperingatkan bahwa tonggak inisiatif ini akan gagal tanpa dukungan dari industri dan seluruh jajaran pemerintahan pusat dan daerah.
Deforestasi dan pengeringan gambut selama puluhan tahun adalah merupakan akar masalah dari krisis kebakaran hutan dan gambut Indonesia yang telah menciptakan kondisi kesehatan yang memprihatinkan dan dampak lingkungan lintas kawasan. Pada 24 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) untuk menangani kebakaran hutan dengan melarang pembangunan lebih lanjut di gambut.
Pada tanggal 3 dan 5 November, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan instruksi formal kepada seluruh perusahaan perkebunan yang memerintahkan mereka untuk menghentikan ekspansi lebih lanjut di gambut. Instruksi tersebut adalah, pertama, Intruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor S.494/MENLHK-PHPL/2015 Tanggal 3 November 2015. Kedua, Instruksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal Pengelolan Lahan Gambut Nomor S.661/Menlhk-Setjen/Rokum/2015 Tanggal 5 November 2015
Yuyun Indradi mengatakan, kebijakan ini harus dibuat lebih praktis dengan target waktu pelaksanaan yang jelas dan mengikat termasuk pemberian sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang mengabaikan kebijakan ini. Perusahaan-perusahaan HTI dan kelapa sawit harus merilis data dan peta yang menunjukan lahan konsesi (HGU) mereka.
“Bagaimana kita dapat mempercayai mereka jika mereka abai terhadap presiden dengan melanjutkan penghancuran gambut?” tanya Yuyun.
Kebijakan yang melarang pemberian izin di atas lahan gambut ini sejalan dengan kebijakan Moratorium. Larangan ini mencakup diantaranya: Pertama, seluruh pembukaan lahan di atas lahan gambut, termasuk di kawasan konsesi perkebunan yang saat ini ada. Kedua, seluruh pembukaan lahan termasuk dengan menggunakan api untuk perkebunan. Ketiga, pembangunan perkebunan yang baru di kawasan yang sudah terbakar pada musim kebakaran hutan baru-baru ini, dimana kawasan ini perlu dijadikan hutan restorasi.
Pemerintah Indonesia telah menerapkan moratorium izin baru konsesi di gambut, namun hal ini sering diabaikan oleh pemerintah lokal, khususnya di tingkat kabupaten dimana alokasi lahan biasanya terkait dengan korupsi. Peta penggunaan lahan yang bisa diakses publik menjadi penting untuk memberi jalan bagi masyarakat sipil dalam mengawasi bagaimana larangan kebijakan presiden atas pembukaan gambut ini bisa dilaksanakan.
Dalam dua bulan terakhir, emisi dari kebakaran lahan gambut Indonesia telah melampaui keseluruhan emisi merika Serikat. Yuyun melanjutkan, Keputusan Presiden Jokowi yang melarang pembangunan gambut adalah langkah pertama menuju masa depan yang lebih baik bagi masyarakat dan lingkungan Indonesia. Ini menjadi contoh yang penting dari seorang pemimpin negara untuk mengatasi akar masalah perubahan iklim di ajang pertemuan iklim Paris.
“Perusahaan harus bekerjasama dengan pemerintah untuk menjalankan kebijakan ini dan memastikan berhenti melakukan bisnis dengan perusahaan yang masih melakukan deforestasi dan penghancuran gambut,” tegasnya.
Greenpeace meminta perusahaan dan seluruh jajaran pemerintahan Pusat dan Daerah untuk mendukung kebijakan Presiden Jokowi dengan mengambil lima langkah sebagai berikut: Pertama, menghentikan penghancuran. Perusahaan harus menuntut pemasok mereka untuk melindungi hutan dan lahan gambut di Indonesia (termasuk melakukan langkah-langkah cepat untuk mencegah kebakaran).
Kedua, memastikan transparansi dan akuntabilitas: Kepemilikan lahan dan peta tutupan hutan harus dipublikasikan, dan perusahaan harus bekerja sama untuk memastikan bahwa semua anak perusahaan (pamasok) dimonitor dengan baik.
Ketiga, membersihkan rantai pasok. Para trader (perusahaan pembeli) harus berkolaborasi melalui aksi bersama untuk memastikan jika ada perusahaan yang masih menciptakan kondisi akan terjadinya kebakaran dan asap dengan cara mengeringkan lahan gambut dan menghancurkan hutan agar dikeluarkan dari pasar.
Keempat, memperbaiki Kerusakan: Hilangnya hutan karena kebakaran harus direhabilitasi. Upaya rehabilitasi harus memprioritaskan kawasan hutan gambut yang rentan yang telah mengalami kebakaran hutan.
Kelima, memulai solusi. Insentif dan keuntungan harus disediakan bagi masyarakat untuk mengembangkan sumber-sumber penghidupan yang mendukung konservasi dan restorasi hutan. Ini termasuk memperbaiki hasil panen di kawasan perkebunan yang ada dan mendukung pengembangan skema koperasi. (*)