Mahasiswa Indonesia di Belanda Bahas Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia-Uni Eropa
|
Jakarta, Villagerspost.com – Mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda bekerjasama dengan PPI kota Amsterdam mengadakan acara bertajuk Indonesian Scientific Exposure and Round Table (INSERT). Acara yang berlangsung dua hari pada 8-9 September 2018 itu membahas isu perjanjian perdagangan bebas Indonesia-Uni Eropa. Acara yang digelar di Vrije Universiteit, Amsterdam itu mengusung tema “Indonesia-EU Cooperation”.
Acara ini dibuka oleh Duta Besar Indonesia untuk kerajaan Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja. Dalam sambutannya, Puja menekankan, Indonesia perlu meningkatkan posisi perdagangannya agar mampu bersaing di Eropa dan mengoptimalkan daya saing produk-produk UMKM yang telah terbukti menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
“Indonesia menempatkan EU sebagai partner dagang nomor 4 dan sebaliknya EU menempatkan Indonesia jadi partner dagang nomor 30. Pada titik itu belum seimbang,” ujarnya, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (13/9).
Puja mengatakan, dalam membangun perekonomian Indonesia, perhatian terhadap usaha mikro, kecil dan menengan sangat diperlukan. “Kita punya sekitar 57 juta UMKM, penunjang ekonomi domestik kita ketika dihantam resesi ekonomi 2008, kita bertahan karena UMKM ini. Ketika negara-negara asia yg lain minus, waktu itu ekonomi kita masih bisa naik 4,4%,” tegasnya.
Salah satu bahasan penting dalam agenda ini adalah tentang perkembangan perdagangan kelapa sawit antara Indonesia dan Eropa. Seperti diketahui, banyak kecaman yang datang dari Eropa untuk menghentikan ekspor minyak sawit ke Eropa karena dianggap tidak sustainable. “Kalau boikot EU terhadap palm oil terjadi, Indonesia akan kehilangan 35 persen ekspor,” kata Puja, menanggapi perjanjian dagang ini.
Kegiatan hari pertama pada 8 September 2018, mengangkat tema “Indonesia and the EU CEPA Negotiation: the Latest Development”. Sesi ini dipimpin oleh Hadi Rahmat Purnama, seorang Kandidat Doktor dari Vrije University, Amsterdam. Diskusi ini menghadirkan empat orang pembicara antara lain Yuri Octavian Thamrin (Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belgia), Merry Indriasari (Atase Perdagangan Indonesia untuk Uni Eropa), Dr. Wahida Maghrabi (Atase Pertanian Indonesia untuk Uni Eropa), dan Ari Indarto Sutijatmo (Atase Perindustrian Indonesia untuk Uni Eropa).
Dalam mengantar diskusi, Hadi Purnama selaku moderator menyampaikan, isi dari CEPA ini sangat luas karena ia menggabungkan antara perdagangan dengan investasi dalam satu kerangka kerjasama. “Padahal keduanya (investasi dan perdagangan-red) berada dalam rezim yang berbeda. Ini memberikan tantangan tersendiri bagi negara seperti Indonesia untuk terlibat di dalamnya karena membutuhkan infrastruktur hukum dan ahli yang tepat ketika menghadapi munculnya sengketa-sengketa,” ujar Hadi.
Sementara itu, Yuri Octavian Thamrin menyampaikan, kesepakatan dagang Indonesia-Uni Eropa ini adalah kesempatan Indonesia untuk bersaing di tingkat internasional. Dia menyampaikan beberapa hasil observasinya terhadap perjanjian dagang ini. Salah satunya terkait peluang investasi dan persaingan dengan negara lainnya seperti Vietnam yang terlebih dahulu sudah memiliki CEPA dengan EU.
“Kita butuh CEPA karena investasi. Tahun lalu investasi mereka besar, US$3,2 miliar. Kebanyakan dari Belanda. Tapi jumlah US$3,2 miliar itu hanyalah 1,6 persen investasi Eropa di Asia. CEPA adalah peluang emas yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia,” ujar Yuri.
“CEPA ini is going to affect our life (berdampak pada kehidupan kita-red). Makanya kita mendengar masukan dari CSO, pedagang, termasuk PPI Belanda. Masukan CSO itu bagus, misalnya TRIPS-plus. kalau tidak disiasati bisa merugikan, dan monopoli paten itu kita harus hati-hati. Intinya, CEPA adalah komitmen kita untuk tidak takut bersaing, kita tidak boleh takut punya CEPA,” tegas Yuri.
Atase Perdagangan Indonesia untuk Uni-Eropa Merry Indriasari menambahkan, negosiasi perdagangan ini tidak hanya tentang perdagangan barang dan jasa, tetapi juga mencakup capacity building, partnership secara menyeluruh dan UMKM. “Dari sisi industri otomotif, kita sudah produksi satu juta unit mobil per tahun. Kita ada sekitar 1500-an industri kecil untuk membuat komponen. Kita mau tunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya main di natural resources saja, tapi juga di teknologi penunjangnya. Pesawat misalnya, dari 1 juta komponen yang dimilikinya, kita juga bisa memproduksi sebagian komponennya. Bahkan sudah diakui di Swiss, Jepang, dan negara lainnya. Kita harus perkenalkan itu,” tegas Merry.
Di sektor pertanian, Atase Pertanian Indonesia untuk Uni-Eropa Dr. Wahida Maghrabi menegaskan, negosiasi ini dipersiapkan untuk generasi Indonesia berikutnya untuk menjadi lebih berani bersaing dengan mengekspor buah tropis ke kawasan Eropa misalnya. “Bagaimana cara untuk menembus pasar Eropa? Salah satunya dengan memperbaiki sistem logistik sehingga komoditi pertanian bisa bersaing secara global,” ujarnya.
Perlu langkah-langkah antisipatif
Diskusi sesi kedua mengupas Indonesia-EU CEPA dalam konteks yang lebih luas mengenai relasi ekonomi antara Indonesia dengan Uni Eropa serta praktik perdaganan dan investasi selama ini. Dengan mengangkat tema “Trade and Investment Opportunities in the European Union Sustainability Standards”, kegiatan seminar sesi dua bersifat evaluatif sekaligus memberikan beberapa poin krusial yang perlu diantisipasi oleh pemerintah Indonesia dalam melanjutkan negosiasi pembentukan CEPA.
Sesi ini dimoderatori oleh Amak Yakub, Kandidat Doktor di bidang ekonomi dari Groningen University. Sesi ini dihadiri oleh empat pembicara dengan latar belakang sebagai akademisi dan peneliti, seperti Dr. Ir. Djamester A. Simarmata, DEA (Dosen UI Indonesia), Roeline Knottnerus (Trade and Investment Policy Advisor, SOMO), Hengky Kurniawan (PhD Candidate bidang ekonomi dari VU Amsterdam), dan Sidi Rana Menggala (PhD Candidate bidang ekonomi dari Ghent University, Belgia).
Dalam kesempatan itu, Sidi Rana Menggala mengatakan, dalam era modern saat ini, perdagangan di tingkat dunia merupakan hal yang tidak terelakkan lagi dan berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. “Bagaimanapun ini menjadi semacam pisau bermata dua, terutama untuk kalangan petani kecil yang merasakan dampak negatifnya,” ujarnya.
Untuk itu, kata dia, sangat penting bagi Indonesia ikut serta menerapkan standar EU dalam penyesuaian kualitas produk, inovasi teknologi, promosi dan kerjasama. “Sehingga manfaat kerjasama ekonomi Indonesia-Eropa akan dirasakan oleh berbagai lapisan, terutama kelompok kecil menengah,” ujarnya menambahkan.
Lebih lanjut, Roeline Knottnerus dari SOMO, sebuah lembaga penelitian dari Belanda yang banyak melakukan penelitian tentang peran perusahaan multinasional memberikan beberapa catatan kritis. Termasuk dengan menjadikan studi kasus sengketa antara Indonesian dengan Newmont di bidang investasi karena pemerintah Indonesia menerapkan aturan pertambangan baru.
“Dari pada terlalu terfokus pada kecepatan menghasilkan CEPA, pemerintah Indonesia sebaiknya memikirkan dalam jangka panjang sebab setiap kesepakatan-kesepakatan baru dapat dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional untuk mencapai kepentingannya dengan mengabaikan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat,” paparnya.
Amak Yakub selaku moderator kemudian menyimpulkan poin utama dari sesi kedua ini. “Pemerintah perlu untuk mendengar perspektif-perspektif masyarakat yang mungkin memiliki pendapat berbeda,” ujarnya.
Misalnya, kekhawatiran akan terlalu liberalnya perdagangan dan investasi yang masuk ke Indonesia, seperti yang disampaikan oleh peneliti SOMO, Roeline Knottnerus. Amak menegaskan, perlu adanya penjelasan kepada publik tentang kekhawatiran bahwa IEU-CEPA adalah sebuah “alat” proteksi investasi perusahaan-perusahaan multinasional Eropa yang ingin masuk ke pasar Indonesia.
“Kekhawatiran ini tidak boleh dianggap sebagai cermin pesimisme sebagian masyarakat, tetapi selayaknya dianggap sebagai early warning bagi pemerintah sebelum menuntaskan perjanjian perdagangan yang akan mengikat dan berdampak luas bagi masyarakat Indonesia,” pungkasnya.
Menggagas Indonesia-Netherland Entrepreneur Club
Masih dari kegiatan hari kedua adalah roundtable yang menghadirkan beberapa pengusaha Indonesia yang berdomisili di Belanda. Di antaranya, Muktisjah Ramli Suryo (Founder Prioritas Logistics), Renu Lubis (IDN Global/Restaurant Entrepreneur), Yasmin Soraya (IndonesiaExpert.com), dan Dessy Irawati-Rutten, PhD FeRSA (BNI Bank Remittance Business Representative and Economic-Business Development Strategist in the Schengen Countries).
Acara ini merupakan upaya dari PPI Belanda untuk membangun jembatan komunikasi antara mahasiswa dengan diaspora dan juga perwakilan pemerintah Indonesia di negara Belanda. Pada kesempatan itu, salah seorang peserta diskusi, Judith, menyatakan, topik yang dibahas sangat relevan dengan isu-isu terkini yang sedang dihadapi pemerintah Indonesia di Eropa.
“Jalannya diskusi menjadi sangat komprehensif karena pembicara yang dihadirkan berasal dari akademik, regulator, dan entrepreneur. Saya harap ini menjadi acara rutin tahunan PPI Belanda yg dapat menjadi wadah mahasiswa di belanda untuk memberikan kontribusi secara nyata kepada Indonesia,” ujarnya.
Peserta lainnya, Priska Prasetya, alumni Wageningen University tahun 2014 yang saat ini berkarir di Belanda membangun start-up business bernama AQGRI+, menyampaikan pandangannya. “Dari acara INSERT kemarin, saya notice kalau PPI Belanda ingin encourage entrepreneurship among Indonesians di Belanda. Menurut saya, there is still a big knowledge gap in the field of entrepreneurship and Start-up residence permit among Indonesians di Belanda. I have the practice experience in the field with my past experience and now Shape of Green Business,” ujarnya.
Sebagai penyelenggara kegiatan ini, PPI Belanda telah mempersiapkan tim khusus untuk menyusun dokumen masukan terhadap negosiasi kesepakatan dagang Indonesia-Uni Eropa dan menyerahkannya kepada pemerintah Indonesia melalui Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belgia yang menjadi tuan rumah negosiasi dagang terbesar untuk Indonesia ini.
“INSERT adalah salah satu sarana bagi mahasiswa Indonesia di luar negeri dalam berkontribusi bagi bangsa dan negara, termasuk dengan mengawal dan memberikan masukan secara akademis kepada pemerintah yang sedang melakukan perundingan,” ujar Yance Arizona, Sekretaris Jenderal PPI Belanda 2017-2018. Yance juga merupakan kandidat Doktor di bidang hukum di Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden.
Editor: M. Agung Riyadi