Marak Sampah Impor, DPR Pertanyakan Strategi Pemerintah Kelola Sampah

Aktivis Greenpeace Indonesia bersama kelompok masyarakat sipil lainnya melakukan aksi bersih sampah di Tangerang (dok. greenpeace indonesia)

Jakarta, Villagerspost.com – Wakil Ketua Komisi VII DPR Mohamad Ridwan Hisjam mempertanyakan sejauh mana efektivitas pemantauan yang dilakukan Kementerian LHK terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan penanganan masalah lingkungan hidup itu. Dia mengatakan, persoalan sampah impor yang mengandung limbah beberapa bulan terakhir menjadi isu hangat.

Komisi VII DPR yang membidangi masalah lingkungan sangat konsen terhadap permasalahan tersebut. Ridwan mengungkapkan, berdasarkan hasil investigasi Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) ditemukan bahwa masuknya sampah kertas impor sebagai bahan baku kertas juga disertai dengan sampah plastik.

“Tercatat setidaknya ada 12 pabrik kertas di Jawa Timur yang menggunakan bahan baku kertas bekas impor,” papar Ridwan, dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar beserta jajaran di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/7).

Komisi VII menilai, penanganan pencemaran lingkungan hidup akibat limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang terjadi saat ini masih belum optimal. Hal itu dibuktikan dengan masih sering ditemukan adanya perusahaan yang tidak melakukan penanganan lingkungan hidup dengan baik dalam setiap kegiatan inspeksi mendadak (sidak) Panja Limbah dan Lingkungan Komisi VII DPR RI.

Karena itu, Komisi VII DPR mendesak Pemerintah melalui Kementerian LHK untuk melakukan upaya nyata guna mengatasi permasalahan sampah plastik tersebut. Ridwan menyampaikan, jenis sampah yang kertas campuran dengan kode HS47079000 diduga menjadi jenis sampah yang disusupi sampah plastik, karena merupakan jenis sampah campuran.

“Hasil investigasi Ecoton juga menunjukkan bahwa impor sampah kertas juga disusupi oleh kontaminasi sampah rumah tangga, khususnya sampah plastik dengan persentase mencapai 35 persen,” papar politikus Partai Golkar itu.

Dia menambahkan, peminat sampah impor juga meningkat pada tahun 2018 lalu, dimana hasil analisis dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, terlihat peningkatan impor sampah kertas yang masuk ke Jawa Timur meningkat sebesar 35 persen bila dibandingkan tahun 2017. Tercatat, impor sampah kertas pada tahun 2018 mencapai 738.665 ton.

Ridwan mengungkapkan, saat ini Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang sampah plastik di laut terbesar kedua di dunia. Dengan jumlah sampah plastik sebesar 3,2 juta ton per tahun dari total 64 juta ton per tahun volume sampah plastik yang dihasilkan Indonesia.

“Salah satu dampak dari pembuangan sampah plastik di laut adalah ditemukannya ikan dan garam di beberapa wilayah perairan di Indonesia telah terkontaminasi mikro plastik yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup,” tegasnya.

Hal tersebut, kata Ridwan, juga diperparah dengan ditemukannya sampah plastik pada kegiatan impor kertas bekas yang telah berkontribusi terhadap pencemaran di kali Brantas, Jatim. Padahal dalam aturan yang ada, secara jelas melarang memasukkan sampah dan limbah ke wilayah Indonesia.

“Pemerintah melalui Kementerian LHK perlu melakukan upaya nyata untuk mengatasi khususnya permasalahan sampah plastik dan sampah secara umum, serta mengkaji kebijakan impor kertas bekas yaitu sampah plastik untuk kebutuhan industri,” tegas Ridwan.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengatakan salah satu upaya yang telah dilakukan oleh KLHK dalam mengatasi persoalan sampah, khususnya sampah plastik adalah dengan menyampaikan usulan kepada Kementerian Perdagangan untuk melakukan revisi Permendag Nomor 31 Tahun 2016. KLHK mengusulkan untuk merevisi pos tarif (HS Code) impor limbah non B3 scrap plastik diusulkan tidak ada code lain-lain, sehingga scrap plastik yang diimpor tidak tercampur dengan scrap plastik yang tidak dapat di-recycling di Indonesia.

“Diusulkan pula agar tidak ada penambahan importir baru limbah non B3 scrap plastik, pembatasan kuota impor bagi yang sudah beroperasi sampai 5 tahun kedepan, mengimpor minimal berupa pelet atau chips, serta produk hasil recycle harus produk jadi bukan berupa kantong plastik,” ujarnya.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.