Masih Impor Beras, Program Cetak Sawah Kementan Dipertanyakan

Prajurit TNI ikut mengawasi jalannya program pencetakan sawah baru (dok. kodam wirabuana)

Jakarta, Villagerspost.com – Program pencetakan sawah baru yang dilakukan Kementerian Pertanian dipertanyakan oleh Komisi IV DPR. Pasalnya, jika program itu memang berhasil seperti yang sering diungkapkan pihak kementerian yaitu mencapai 200 ribu hektare, maka seharusnya impor beras tak dilakukan.

Anggota Komisi IV DPR RI Nasyid Umar mengatakan, dalam laporan disebutkan, untuk program cetak sawah baru Kementan telah mencetak sawah sebanyak 20 ribu hektare di tahun 2015. Pada tahun 2016 Kementan cetak 120 ribu hektare. Kemudian, tahun 2017 berhasil melakukan program cetak sawah sebanyak 60 ribu hektare. Total sawah yang sudah dicetak Kementan, kata Nasyid Umar, berdasarkan dta tersebut mencapai 200 hektare. Biaya yang digunakan pun cukup besar mencapai Rp3,8 triliun.

“Kalau saja 1 hektare sawah menghasilkan 3 ton beras, maka total beras yang dihasilkan sekitar 600 ribu ton beras yang merupakan hasil dari cetak sawah. Kalau demikian, kenapa harus impor?” tanya Nasyid Umar, dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup di ruang rapat Komisi IV DPR, Senayan Jakarta, Senin (29/1).

Dia mengatakan, jika pun hasil cetak sawah itu gagal, tidak ada laporan yang disampaikan pada DPR, berapa areal yang gagal, berapa areal yang berhasil dan berapa areal yang belum berjalan. “Dengan adanya laporan tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi ke depan,” tambahnya.

Terlebih lagi, kata Umar, pada tahun 2018 ini Kementerian Pertanian telah mengusulkan akan membuat program cetak sawah baru lagi seluas 12 ribu hektare. “Laporan dan evaluasi itu tentu sangat dibutuhkan, demi perbaikan dan kepentingan bersama,” tambahnya.

Hal senada juga diungkapkan anggota Komisi IV DPR RI lainnya, seperti Asep Maosul dari Fraksi PPP. Asep mempertanyakan program cetak sawah yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Pasalnya selama ini tidak terdengar keberhasilan atau kegagalan dari program tersebut.

Berbeda ketika jaman pemerintahan presiden kedua Indonesia Soeharto yang mengaku melakukan cetak sawah dan dibuktikan dengan program swasembada berasnya. “Saat ini masyarakat lebih melihat banyaknya sawah yang berganti pemukiman. Sementara program cetak sawah baru untuk menambah atau meningkatkan produksi beras malah tidak terdengar gaungnya,” ujarnya.

Sebelumnya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan realisasi cetak sawah hingga triwulan II 2017 sebesar 150.995 hektare dari seluruh wilayah yang sudah diprogramkan. Sementara alokasi realisasi anggaran hingga triwulan II sebesar Rp2,6 triliun dari Rp4,1 triliun. Namun BPK juga memberi catatan terkait masih ada beberapa lahan yang status kepemilikannya tidak jelas namun sudah digarap.

Terkait hal ini, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, lahan yang dikelola menjadi cetak sawah adalah milik petani, serah terima yang dilakukan adalah setelah pengerjaan selesai, yakni penyerahan hasil pekerjaan bukan sawah ataupun lahan. “Itu tadi lahan terlantar diolah menjadi sawah setelah itu diberikan ke pemiliknya. Ini tanah milik mereka (petani),” kata dia.

Terlantar di sini, maksudnya adalah lahan yang tidak digarap untuk kemudian dimanfaatkan menjadi sawah. Di Indonesia, ia melanjutkan, ada raksasa tidur yang bisa dibangunkan yakni lahan pasang surut, lahan lebak, dan tanah tadah hujan.

Dengan menyiapkan embung dan air maka lahan tersebut akan berpotensi menghasilkan komoditas pertanian. Kemampuan tanamnya bahkan bisa menjadi dua kali tanam per tahun dari yang tadinya hanya satu kali tanam. “Nantinya target kita tiga kali per tahun. Tentu yang biasa hasilnya sekali menjadi tiga kali. Itu luar biasa kan?” ujar Amran. (*)

 

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.