Masyarakat Adat Pesisir Serukan Penolakan terhadap Perampasan Ruang Hidup

Aksi unjuk rasa warga menolak reklamasi yang membawa dampak buruk bagi lingkungan dan nelayan serta kawasan pesisir (dok. solidaritasperempuan.org)

Manado, Villagerspost.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bersama dengan Kelompok Pengelola Sumberdaya Alam (KELOLA) dan Forum Masyarakat Adat Pesisir, menyerukan penolakan terhadap perampasan ruang hidup masyarakat pesisir. Seruan itu dilantangkan dalam acara lokakarya masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan Pantai Malalayang Dua, Kota Manado.

Pertemuan ini merupakan forum pertemuan bagi masyarakat adat pesisir dari berbagai provinsi. Masyarakat adat pesisir yang hadir di antaranya dari Aceh, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Sulawesi Utara, dan juga Papua. Dalam pertemuan ini, persoalan hak atas tanah atau hak tenurial menjadi bahasan utama, dimana hak atas tanah merupakan prasyarat utama bagi masyarakat pesisir dalam mengelola sumber-sumber daya perikanan.

Sekjen KIARA Susan Herawati mengatakan, pembahasan hak tenurial dalam pengelolaan sumber daya perikanan sangat penting, karena maraknya praktik perampasan ruang hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

“Selama ini pengelolaan sumber daya perikanan hanya dilihat sebagai pengelolaan komoditas semata. Padahal, di dalamnya ada isu ruang hidup (tenur) dan isu hak asasi manusia yang perlu dilindungi oleh negara,” ungkapnya, pada Senin (4/3).

Pada kesempatan yang sama, Direktur KELOLA Dr. Rignolda Djamaluddin menegaskan, praktik perampasan ruang hidup di kawasan Sulawesi Tengah dapat dilihat dalam proyek reklamasi di berbagai wilayah pesisir di Manado. Tak hanya reklamasi, proyek konservasi di Taman Nasional Bunaken (TNB) juga terbukti merampas ruang hidup masyarakat.

“Praktik perampasan ruang hidup masyarakat selama ini dilegitimasi oleh regulasi yang sebenarnya salah, karena bertentangan mandat konstitusi,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Forum Masyarakat Adat Pesisir Bona Beding mengatakan, perampasan ruang hidup atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi mengancam kehidupan masyarakat pesisir, tak hanya sosio-ekonomi dan ekologi tetapi juga mengancam identitas budaya bahari masyarakat pesisir Indonesia, khususnya masyarakat adat pesisir. “Seluruh komunitas masyarakat adat pesisir di Indonesia adalah pemilik dan pemegang hak pengelolaan sumber-sumber daya perikanan,” imbuhnya.

Dalam lokakarya ini, masyarakat adat pesisir menyatakan penolakan dan perlawanan terhadap perampasan ruang hidup masyarakat dalam bentuk proyek reklamasi yang saat ini tercatat di 42 wilayah pesisir. Mereka juga menolak pertambangan pesisir di 26 kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, industri pariwisata yang saat ini dijadikan satu pilar pertumbuhan ekonomi melalui proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

Masyarakat adat pesisir juga menolak program konservasi laut yang telah mencapai kawasan seluas 20 juta hektare, dan perkebunan kelapa sawit yang saat ini sudah memasuki kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil seluas 600 ribu hektare lebih. Masyarakat adat pesisir juga mendesak negara harus segera memberikan perlindungan utuh kepada masyarakat adat di pesisir Indonesia di tengah perebutan ruang antara masyarakat adat di pesisir dan investor.

“Sebagai bangsa bahari, seharusnya masyarakat adat di pesisir Indonesia menjadi tuan di lautnya sendiri, artinya negara memiliki kewajiban untuk menjamin ruang hidup masyarakat adat di pesisir Indonesia yang hari ini masih berada di bawah tekanan investasi melalui mega proyek seperti reklamasi, tambang, pariwisata dan konservasi,” pungkas Susan Herawati.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.