Masyarakat Celukan Bawang Peringati Hari Kemerdekaan di Bawah Ancaman Polusi Batubara

Kapal Greenpeace Rainbow Warrior, bertandang ke Celukan Bawang, dukung warga tolak PLTU batubara (dok. greenpeace)

Denpasar, Villagerspost.com – Greenpeace Indonesia menegaskan, masyarakat Celukan Bawang, Buleleng, Bali bakal memperingati Hari Kemerdekaan ke-73 di bawah ancaman polusi batubara. Hal ini merupakan buntut dari gugatan masyarakat dan Greenpeace Indonesia terhadap SK Gubernur Bali tentang izin lingkungan PLTU Celukan Bawang Tahap Dua 2×330 MW, yang tidak diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar, dalam persidangan hari ini, Kamis (16/8).

Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, para penggugat tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan dikarenakan tidak adanya kepentingan yang dirugikan atas terbitnya SK Ijin Lingkungan PLTU Celukan Bawang Tahap dua 2×330 MW. “Pertimbangan ini mencerminkan kegagalan hakim menerapkan maksud dan tujuan dari hukum lingkungan hidup dalam melakukan pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan,” kata tim kuasa hukum penggugat I Wayan Gendo Suardana.

“Pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan termasuk mencegah potensi dampak yang akan terjadi dikemudian hari, meskipun proyeknya belum berjalan,” lanjut Gendo.

Kekecewaan serupa juga diungkapkan Direktur YLBHI-LBH Bali Dewa Putu Adnyana. “Putusan ini sangat tidak berkeadilan, bahkan sangat berpihak terhadap tergugat, karena hakim dalam pertimbangan hukumnya hanya menggunakan keterangan saksi dan ahli dari pihak tergugat II intervensi,” kata Adnyana.

Dia mengatakan, salah satu pertimbangan yang menunjukkan adanya keberpihakan terhadap tergugat itu adalah majelis hakim menyatakan, pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II berpotensi atau berdampak buruk terhadap lingkungan hanyalah asumsi semata, karena tidak disertai dengan bukti ilmiah.

Pertimbangan majelis hakim ini dibantah oleh Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Didit Haryo. “Alat bukti yang kami ajukan dalam pengadilan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah yaitu hasil penelitian ahli-ahli tentang dampak PLTU batubara terhadap polusi udara dan pencemaran ekosistem laut,” ujarnya.

Sebaliknya, kata dia, alat bukti uang diajukan tergugat II intervensi yaitu PT PLTU Celukan Bawang yang menurut Didit justru tidak ilmiah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. “Berbanding terbalik dengan Alat Bukti Tergugat II intervensi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya dengan menggunakan sumber Wikipedia dan percakapan Kaskus,” ungkap Didit.

Keberpihakan Hakim terhadap Tergugat dan Tergugat II Intervensi semakin jelas ketika seluruh pertimbangan hukumnya hanya mengutip keterangan saksi dari pihak Tergugat II Intervensi dan sama sekali tidak mempertimbangkan keterangan saksi dari pihak penggugat. Salah satu contohnya, soal tangkapan ikan dari penggugat nelayan yang menurun drastis.

Terkait hal itu, kata Gendo, penggugat telah mengajukan bukti sahih yaitu laporan dari Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Buleleng. Namun sebaliknya hakim menyatakan tangkapan nelayan bertambah banyak yang berdasarkan keterangan saksi pihak tergugat intervensi. “Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, alat bukti surat memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dibandingkan Keterangan Saksi,” ujar Gendo.

Terkait hal ini, Adyana mengatakan, dengan gagalnya majelis hakim menilai kepentingan yang dirugikan oleh penggugat berdasarkan bukti ilmiah, maka putusan ini tidak hanya akan berdampak pada penggugat tetapi juga akan berdampak pada masyarakat disekitar PLTU tersebut dan masyarakat Bali. “Putusan ini mencerminkan pengadilan telah gagal sebagai wadah untuk mendapatkan keadilan lingkungan oleh masyarakat dan gagal menyelamatkan Bali dari potensi buruk PLTU Batubara di masa depan,” pungkas Dewa Putu Adnyana.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.