Masyarakat Sipil Dorong Konsep Transisi Yang Berkeadilan dalam Industri Sawit

Aksi serikat buruh Kalimantan Barat menuntut penghapusan upah murah (dok. sawit watch)

Bogor, Villagerspost.com – Masyarakat sipil mendorong konsep transisi yang berkeadilan dalam industri sawit. Hal tersebut mengemuka dalam Serial Diskusi: “Transisi yang Berkeadilan dalam Industri Sawit”, yang digelar secara online, beberapa waktu lalu.

Ketua Serikat Buruh Sawit Sejahtera (SBSS) Robiyansi mengatakan, transisi yang berkeadilan dipandang menjadi salah satu konsepsi yang dapat mempertemukan beragam kepentingan di industri sawit, termasuk isu perburuhan. “Isu buruh perkebunan sawit belum menjadi hal penting dalam pemantauan rantai pasok industri sawit terutama terkait dengan kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami buruh,” ujarnya.

Di sisi lain, isu lingkungan menjadi isu prioritas dan sering dibicarakan dalam industri sawit. Robiyansi menegaskan, transisi yang berkeadilan menandakan adanya suatu pendekatan yang komprehensif dan fleksibel untuk membantu pekerja yang mengalami dampak negatif untuk menghadapi biaya dan tantangan perubahan iklim dan proses transformasi menuju ‘penghijauan’ ekonomi.

“Proses masuknya Perusahaan dilakukan dengan cara yang tidak baik, mereka memberikan janji manis agar masyarakat mau menjual lahannya ke perusahaan. Masyarakat terbuai akan iming-iming akan dipekerjakan di Perusahaan nyatanya mereka nekerja melalui pihak ketiga. Sebenarnya janji-janji perusahaan itu semuanya bohong, nyatanya tidak menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat,” kata Robiyansi.

Ia menambahkan, pemerintah setempat terkesan tutup mata atas permasalahan yang dihadapi buruh. Padahal ia berperan dalam memberikan izin kepada Perusahaan untuk beraktivitas. “Sehingga menurut pendapat saya ada peran pemerintah untuk mengurai persoalan yang diakibatkan oleh Perusahaan di wilayah kami,” tambah Robiyansi.

Hal senada disampaikan oleh Stella A Putri, Perwakilan Masyarakat dari Melak Kalimantan Timur. “Kehadiran perusahaan sawit di wilayah kami khususnya di Suakong berdampak sangat merusak baik bagi lingkungan maupun sosial masyarakat,” paparnya.

Perusahaan, kata Stella, melakukan perampasan paksa lahan masayarakat dengan modus melakukan pembukaan dengan bulldozer tanpa izin pemilik. “Lahan dirusak agar tidak bisa dikelola dan dijual murah ke Perusahaan. Dari sisi lingkungan zat-zat kimia yang berasal dari limbah pabrik sudah mencemari Sungai, bahkan menyebabkan ikan-ikan mati dan masyarakat terkenan penyakit kulit,” tambah Stella.

“Harapan saya, konsep transisi yang berkeadilan di industri sawit ini dapat mengatasi persoalan yang sedang kami alami, bukan hanya bagi kelompok buruh kebun sawit saja tapi juga kelompok masyarakat adat yang juga dirampas haknya. Tanah kami sudah hampir tidak bisa dikelola lagi untuk berladang, bertanam sayur juga susah, dan sungai yang tercemar. Ini patut menjadi perhatian kita bersama,” papar Stella.

Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch menyatakan, pemerintah harus melihat kembali bahwa telah ada setidaknya dua kelompok sosial di perkebunan sawit yaitu buruh tani dan buruh kebun. “Selama ini pandangan yang dominan terdengar adalah dari petani sawit sedangkan suara-suara dari kelompok buruh seringkali terabaikan,” ujar Surambo.

Dalam kerangka berbeda banyak hal yang dibicarakan pemerintah soal perkebunan namun mereka tidak melihat keberadaan buruh sawit, misal dalam kebijakan inpres moratorium sawit yang tidak menyebutkan soal buruh sawit hanya fokus pada peningkatan produktivitas. “Kami memandang pemerintah harus melakukan perlindungan dan pemberdayaan terhadap dua kelompok ini,” ujar Surambo.

Konsep transisi yang adil atau just transition, menurut Surambo, dapat berjalan baik jika pemerintah telah mengeluarkan kebijakan perlindungan pemberdayaan terhadap buruh tani dan buruh kebun di perkebunan sawit. “Sehingga kerja-kerja untuk mendorong transisi yang adil dapat dilakukan oleh para kelompok pemerhati termasuk Koalisi Buruh Sawit (KBS),” tambahnya.

Hariati Sinaga S.Sos, M.A, Ph.D, Akademisi Universitas Indonesia menambahkan, penekanan produktivitas yang dilakukan perkebunan sawit berimbas pada meningkatnya Buruh Harian Lepas (BHL) yang sebagian besar adalah perempuan. “Transisi berkeadilan harus berbicara soal jaminan hidup yang layak. Salah satunya dengan status kerja yang jelas, khususnya bagi buruh perempuan yang bekerja tapi tidak menerima upah,” tutup Hariati.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.