Masyarakat Sipil Indonesia-Australia Tolak Hak Investor Gugat Pemerintah Dalam Perjanjian Perdagangan Bebas

Koalisi masyarakat sipil menentang klausul di perjanjian perdagangan bebas Asia-Pasifik yang sangat memanjakan investor dan mengancam kesejahteraan masyarakat (dok. indonesia for global justice)

Jakarta, Villagerspost.com – Jaringan Perdagangan dan Investasi yang Adil Australia-Indonesia untuk Keadilan Global, menentang hak investor untuk menuntut pemerintah dalam perjanjian perdagangan bebas, khususnya pada Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA).

“Penyelesaian Perselisihan Investor-Negara (ISDS) memberikan hak hukum tambahan bagi investor asing (hak ini tidak tersedia bagi investor lokal) untuk menuntut pemerintah senilai jutaan dolar di pengadilan internasional, jika mereka dapat mengklaim bahwa perubahan dalam hukum atau kebijakan nasional bisa membahayakan investasi mereka,” kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (16/9).

“Karena kasus ISDS sangat mahal, hak gugatan investor terhadap pemerintah ini sebagian besar digunakan oleh perusahaan global besar yang sudah memiliki kekuatan pasar yang sangat besar, termasuk perusahaan tembakau, farmasi, pertambangan dan energi,” tambah Rachmi.

Pakar hukum telah mencatat, pengadilan ISDS tidak independen, kerap memihak dan tidak memiliki standar dasar sistem hukum nasional. Untuk saat ini, kata Rachmi, ada 942 kasus yang diketahui sedang berjalan. Kebanyakan dari kasus ini justru menentang aturan terkait perlindungan atas kesehatan, lingkungan (termasuk undang-undang untuk mengatasi perubahan iklim), hak tanah adat, upah minimum, dan undang-undang kepentingan publik lainnya.

“Sebagian besar dimenangkan oleh perusahaan atau diselesaikan oleh pemerintah,” tegas Rachmi. Karena itu tak heran, banyak pemerintahan, termasuk Afrika Selatan, India, Brasil, AS, dan Uni Eropa, tidak lagi memasukkan ISDS dalam perjanjian perdagangan. “Bahkan ketika pemerintah memenangkan kasus, mempertahankannya membutuhkan waktu bertahun-tahun dan biaya jutaan dolar untuk urusan hukum,” tambah Rachmi.

Contohnya, saat Australia mengalahkan upaya perusahaan tembakau Philip Morris untuk menuntut kompensasi atas undang-undang kemasan rokok tanpa label untuk melindungi kesehatan masyarakatnya. Pemerintah Australia membutuhkan waktu empat tahun untuk memenangkan gugatan itu dan hatus mengeluarkan biaya hingga Aus$24 juta. Sementara dalam kasus ini, Philip Morris hanya diperintahkan untuk membayar sebesar Aus$12 juta.

Indonesia mengalami hal yang sama saat memenangkan kasusnya melawan perusahaan pertambangan Churchill Mining. Butuh waktu empat tahun dan menelan biaya hingga sebesar US$12,382 juta bagi Indonesia untuk memenangkan kasus ini. Namun Churchill hanya diperintahkan untuk membayar sebesar 75% dari tuntutan yang diajukan pada tahun 2016. Hingga saat ini, pihak Churchill Mining tetap masih belum membayarnya.

Australia membela dimasukkannya ISDS dalam IA-CEPA dengan mengklaim bahwa versi modern ISDS dalam IA-CEPA ini merupakan perbaikan dari perjanjian investasi bilateral sebelumnya yang dibuat tahun 1993 lalu. Klausul ISSD ini memiliki beberapa pengecualian khusus untuk kebijakan kesehatan dan beberapa klausul perlindungan umum, yang akan membuatnya lebih sulit bagi perusahaan untuk memenangkan kasus.

Namun faktanya, kata Rachmi, pengecualian bagi aturan terkait kesehatan ini terlalu spesifik sehingga tidak berlaku untuk upaya perlindungan lingkungan dan perlindungan hukum untuk kepentingan publik lainnya.

“Lebih penting lagi, kedua pemerintah juga gagal untuk membatalkan perjanjian lama, yang tidak memiliki pengecualian atau perlindungan sama sekali. Investor hanya akan mengabaikan klausul ISDS versi terbaru ini, dan menggunakan perjanjian lama yang lebih menguntungkan bagi mereka,” terang Rachmi.

“Kami menentang penggunaan apa yang disebut perjanjian perdagangan bebas untuk memberikan hak hukum tambahan kepada perusahaan global yang sudah memiliki kekuatan pasar yang sangat besar untuk bisa menggugat pemerintah. Kami meminta parlemen Indonesia dan Australia untuk membatalkan perjanjian lama dan menolak untuk meratifikasi IA-CEPA sambil menunggu penghapusan ISDS,” pungkas Rachmi.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.