Masyarakat Teluk Jakarta Tolak Konsultasi Publik KLHS Abal-Abal
|
Jakarta, Villagerspost.com – Masyarakat sipil dan nelayan teluk Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menolak undangan konsultasi publik yang digelar Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta terkait Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) proyek reklamasi teluk Jakarta, khususnya untuk Pulau C dan D. Mereka menilai, forum itu hanyalah forum konsultasi abal-abal karena melanggar hukum dan hanya untuk melegitimasi diteruskannya proyek reklamasi.
Sebelumnya, pihak Sekda DKI sudah mengirimkan undangan konsultasi publik tersebu pada 8 Maret lalu. Dalam surat bernomor No. 191/-079.43 itu disebutkan, konsultasi publik mengenai KLHS Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta itu akan dilakukan pada hari ini, Jumat 10 Maret, di Gedung Balaikota Kota Jakarta.
Kepala Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indoesia (KNTI) Marthin Hadiwinata menyatakan, KNTI tidak pernah menerima undangan tersebut. “Konsultasi publik ini cenderung manipulatif danĀ merupakan masalah yang serius namun terus-menerus diulang oleh Pemprov DKI Jakarta,” katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Jumat (10/3).
Marthin mengatakan, cara ini dibuat dengan sengaja untuk menghalangi hak partisipasi dan keberatan dari publik termasuk nelayan tradisional dan perempuan nelayan di Teluk Jakarta. Sekaligus menunjukkan Pemprov DKI jakarta tidak terbuka terhadap kritik (anti kritik).
Pihak koalisi mengatakan, dengan cara-cara itu, justru membuktikan, sejak dari hulu sampai hilir, proyek reklamasi Teluk dipenuhi dengan pelanggaran dan manipulasi. Surat undangan tersebut ditujukan untuk menggelar acara konsultasi publik mengenai KLHS. Tujuannya, memberikan legitimasi bagi pembangunan Pulau C dan D yang membutuhkan pengesahan Perda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Koalisi memiliki lima alasan penolakan atas surat tersebut. Pertama, undangan diberitahukan secara tidak patut. Peserta yang mendapatkan surat undangan tersebut pada tanggal 9 Maret 2017 Pukul 19.00 malam. Kedua, peserta undangan tidak menerima undangan secara resmi dan tidak diberikan secara khusus kepada masing-masing undangan.
Ketiga, tidak adanya kerangka acuan (term of reference), hanya jadwal agenda sehingga tidak ada kejelasan arah kegiatan. “Juga tidak ada bahan materi yang akan dibahas sehingga ini merupakan cara untuk memanipulasi pembahasan yang penting,” kata Marthin.
Keempat, melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup dan PP No. 46 Tahun 216 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang memandatkan adanya informasi di awal sebelum memulai pembentukan KLHS. “Cara ini untuk memanipulasi partisipasi seolah-olah pihak yang mengkritisi proyek reklamasi telah diundang namun tidak hadir untuk mendelegitimasi para undangan,” paparnya.
Kelima, KLHS seharusnya dilakukan sebelum suatu kebijakan, rencana dan proyek dari suatu pembangunan berjalan untuk memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan dipenuhi. “Hal ini merupakan kekeliruan yang disengaja karena telah banyak kajian yang menunjukkan kerusakan baik yang sudah terjadi maupun potensi yang memperburuk kualitas lingkungan hidup di Teluk Jakarta. Seharusnya tidak ada proyek reklamasi berjalan sebelum ada KLHS,” ujar Marthin.
Keenam, penanggap seperti Ir. Hesti Nawangsidi dan Sawarendro berpotensi konflik kepentingan. Penanggap tersebut merupakan konsultan pengerjaan proyek reklamasi yang berkepentingan agar proyek reklamasi terus berjalan. “Seharusnya penanggap merupakan pihak yang independen dengan kepentingan ilmiah dan semata-mata untuk kepentingan lingkungan hidup bukan konsultan proyek reklamasi,” tegas Marthin.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Puspa Dewy menegaskan, forum ini sama sekali tidak layak dinyatakan sebagai konsultasi, melainkan sosialisasi an sich. “Sebagai kelompok yang akan terkena dampak langsung, seharusnya pemerintah memprioritaskan masyarakat pesisir, khususnya perempuan, untuk dimintai pendapatnya. Tidak hanya perlu diundang secara patut, tapi masyarakat juga harus diberikan informasi awal untuk dikritisi dengan bahasa yang bisa dimengerti.” ungkapnya.
Sementara itu Legal Officer KIARA Rosiful Amirudin menyatakan, forum Konsultasi Publik telah melanggar hukum. “Kegiatan Konsultasi publik ini jelas-jelas melanggar hukum karena dilakukan setelah pulau C dan D dibangun terlebih dahulu,” tegasnya.
Lebih jauh, pengacara publik LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora mengajak masyarakat untuk menolak hasil forum konsultasi publik tersebut karena dinilai tidak melibatkan masyarakat pemangku kepentingan yang terkait. “Forum tersebut tidak memiliki legitimasi apapun. Karena itu harus ditolak,” pungkasnya.