Menanti Ketegasan RSPO dan Pertamina Mewujudkan Biofuel Bersih
|
Bogor, Villagerspost.com – Koalisi masyarakat sipil #cleanbiofuelforall menegaskan, momen pertemuan tahunan Roundtable on Sustainable Palm Oil atau yang dikenal dengan singkatan RSPO, yang berlangsung tanggal 3-5 Novemver 2019 di Bangkok, harus menjadi momen bagi pemangku kepentingan untuk mendukung terwujudnya biofuel bersih. Koalisi #cleanbiofuelforall mengatakan, upaya menwujudkan bahan bakar nabati bersih ini masih terkendala akibat masih berulangnya kejadian kebakaran hutan dan lahan.
“Kebakaran hutan dan lahan ditemukan juga dalam konsesi sawit milik perusahaan yang merupakan anggota RSPO, sudah selayaknya isu kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu topik yang didiskusikan dalam rangkaian agenda pertemuan tahunan RSPO tahun ini,” kata Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Minggu (3/11).
Terkait fenomena kebakaran hutan dan lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kabarnya sudah memproses hukum 79 perusahaan pemilik konsesi dan satu perorangan per 16 Oktober 2019 lalu. Sampai dengan akhir September 2019, KLHK mengklaim, luas kebakaran mencapai 857.756 ha, terdiri dari 630.451 hektare lahan mineral dan 227.304 ha lahan gambut.
Koalisi masyarakat sipil #cleanbiofuelforall menemukan, beberapa titik kebakaran lahan terjadi di konsesi milik perusahaan anggota RSPO yang juga telah bersertifikat ISPO. Tidak kurang dari 19 perusahaan anggota RSPO di Sumatera dan Kalimantan telah terbakar lahan konsesinya. Bahkan, beberapa perusahaan tersebut berada di area gambut dan merupakan salah satu pemasok bagi perusahaan penghasil Biofuel.
Apabila biofuel digadang-gadang sebagai solusi alternatif bagi energi terbarukan, maka hendaknya perusahaan pemasoknya harus menerapkan prinsip NDPE (no deforestation, no peat, and no exploitation). “Salah satu perusahaan yang kami temukan terbakar, berada di area gambut dan merupakan anak perusahaan anggota RSPO adalah PT Dendymarker Indah Lestari (PT DIL),” ungkap Inda.
Koalisi menemukan, konsesi milik PT DIL mengalami kebakaran berulang pada bulan September dan Oktober 2019, bahkan perusahaan ini juga mengalami kebakaran lahan pada tahun 2015 silam. Hal ini mengindikasikan bahwa air di lahan gambut PT DIL tidak dikelola dengan baik, sehingga lahan gambut yang berada di PT. DIL sudah menjadi kering.
“Apabila PT DIL tidak ada upaya perbaikan yang nyata dan segera, maka di musim kemarau berikutnya lahan tersebut dapat dipastikan akan kembali terbakar,” tegas Inda.
Selain PT DIL kebakaran Lahan gambut juga terjadi pada anak perusahaan grup Tunas Baru Lampung anggota RSPO, PT Samora Usaha Jaya (SUJ) yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Luas lahan gambut terbakar mencapai 3.600 ha pada periode Juli-September, diduga kuat lahan terbakar tersebut sedang disiapkan untuk ditanami sawit.
“RSPO sebagai penjamin perusahaan menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan harus mengambil sikap tegas atas perusahaan-perusahaan yang seperti ini. Selain itu, jika tidak menerapkan prinsip NDPE, maka perusahaan ini hendaknya tidak diterima sebagai pemasok biofuel,” ujar Inda.
Perlu peran semua pihak untuk mewujudkan #cleanbiofuelforall. Dalam RT RSPO ke 17 yang akan diselenggarakan di Bangkok, Thailand RSPO hendaknya menyatakan secara terbuka dan jujur bahwa sebagian anggotanya memang terbukti terbakar areal konsesinya.
ISPO sebagai instrumen negara dalam melabeli #sawitbaik juga jangan hanya membagi-bagi sertifikat saja. Isi dari ISPO yang merupakan pengejawantahan hukum-hukum positif seharusnya mampu mendesak perusahaan mematuhi hukum. Jika perusahaan sudah ISPO, tapi terbakar lahannya dapat menjadi indikasi “ada hukum yang dilanggar” oleh perusahaan tersebut.
Momen karhutla seharusnya menjadi titik balik untuk kembali mereview izin, legalitas, tata kelola, dan pernyataan #sawitbaik yang digadang-gadang perusahaan dan negara. Dengan demikian, Pertamina juga dapat menapis pemasok yang tidak menerapkan NDPE. Seperti diketahui bersama, produk dari sawit berupa biofuel dibeli oleh PT Pertamina untuk digunakan sebagai pencampur Solar untuk menjadi B20.
“PT Pertamina selaku BUMN harusnya berperan aktif membantu rezim saat ini menghentikan karhutla,dengan menghentikan pembelian biofuel dari perusahaan yang melakukan atau di temukan di dalam Izinnya terbakar. PT Pertamina juga perlu membuat kebijakan lingkungan berkelanjutan dengan menganut prinsip NDPE yang mengikat untuk seluruh rantai pasok Biofuel nya,” ungkap Hadi Jatmiko, dari Perkumpulan Lingkar Hijau.
Tiara Yasinta peneliti dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menambahkan, pemerintah harus meningkatkan koordinasi dan sinergitas antar kementerian/lembaga sektoral termasuk BUMN (Pertamina). Dengan demikian, sehingga upaya penyelamatan lingkungan menjadi agenda bersama dan diharapkan bisa saling mengintegrasikan seluruh inisiatif, sekaligus bisa menciptakan fungsi kontrol dan evaluasi.
“Kejadian yang terjadi saat ini seharusnya menjadi pembelajaran yang baik bagi pemerintah dan pihak-pihak lainnya, sehingga upaya yang masih parsial yang saat ini dilakukan tidak lagi terulang di waktu mendatang,” ujarnya.
Biofuel yang katanya akan menjadi sumber energi terbarukan, jangan sampai justru lebih merusak bumi dibandingkan fossil fuel. “Negara tidak boleh berbangga hati karena telah beralih menggunakan biofuel, jika biofuelnya masih merusak hutan, merusak lahan gambut, dan berasal dari perusahaan yang mengeksploitasi manusia,” pungkas Tiara.
Editor: M. Agung Riyadi