Mendorong Lembaga Adat Aktif dalam Pengawasan Program Pupuk Bersubsidi
|
Lombok Utara, Villagerspost.com – Salah satu persoalan akut dalam pelaksanaan program pupuk bersubsidi adalah dalam proses pengawasannya. Banyak terjadi kasus dimana lemahnya pengawasan, misalnya dalam penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) terjadi mark up luasan lahan, RDKK fiktif yang mengakibatkan data RDKK tidak valid dan akibatnya, alokasi di wilayah tertentu melebihi kuota sesungguhnya. Atau sebaliknya, jumlah pupuk yang terdistribusi di bawah kuota sehingga terjadi kelangkaan.
Kondisi ini kerap menimbulkan perselisihan di antara petani maupun antara petani dengan pengecer pupuk bersubsidi. Lemahnya pengawasan ini, juga terungkap dari program audit pupuk bersubsidi yang dilaksanakan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan yang didukung oleh Oxfam di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Di tingkat desa, Plt. Kepala Desa Loloan Karyadi mengakui, selama ini pihak desa belum pernah melakukan pengawasan tehadap program pupuk bersubsidi baik di level perencanaan RDKK maupun penyalurannya. “Yang terjadi hanya warga mengadu bahwa terjadi kelangkaan pupuk dan untuk lebih jelas persoalannya maka diarahkan ke bagian pertanian yaitu petugas penyuluh lapangan (PPL), pengecer atau ke lebih atasnya,” ujar Karyadi, kepada Villagerspost.com, Sabtu (2/12).
Hal senada juga diungkapkan Sekdes Desa Bayan M. Hasan Basri. “Dalam implementasi kebijakan pupuk bersubsidi selama ini desa belum pernah melakukan pengawasan termasuk dalam proses pengusulan petani melalui RDKK hanya yang dilakukan hanya penandatanganan dari format usulan RDKK,” ujarnya.
Karena itu, untuk mengatasi masalah-masalah ini, di Lombok Utara muncul ide atau usulan untuk melibatkan lembaga adat desa atau Majelis Krama Desa (MKD) dalam pengawasan program pupuk besubsidi atau setidaknya menjadi lembaga yang memediasi jika terjadi sengketa terkait pupuk bersubsidi di level desa. Terkait masalah ini, Hasan Basri mengatakan, ide untuk menjadi MKD sebagai wadah mediasi jika terjadi sengketa pupuk bersubsidi, lebih tepat.
Hasan mengungkapkan selama ini di Desa Bayan, keberadaan MKD sangat mendukung dalam membantu pemerintah desa untuk menyelesaikan sengketa atau konflik warga. Terkait masalah pupuk bersubsidi, MKD, kata Hasan, bisa menjalankan fungsi serupa.
“MKD bisa menjadi lembaga penyelesaian sengketa aduan warga terkait layanan pangan khususnya pupuk bersubsidi termasuk pengawasan tapi perlu menjadi pertimbangan agar tidak terjadi tumpang tindih maka perlu adanya regulasi yang mengatur sistem dan mekanisme dalam melakukan sebuah pengawasan,” ujarnya.
Terkait hal ini, R. Kertawala, Staf Desa Bayan mengatakan, secara aturan sebenarnya pelibatan MKD dalam program pupuk besubsidi khususnya sebagai lembaga mediasi sangat mungkin dilakukan. Di Lombok Utara sendiri sudah ada perangkat aturan berupa Peraturan Bupati Lombok Utara No 20 Tahun 2017 tentang pedoman Majelis Krama Desa. Kemudian Keputusan Bupati Lombok Utara No 155.A/01/BPM/2016 Tahun 2016 tentang Pembentukan Tim Kerja Pembentukan Majelis Krama Adat Desa Kabupaten Lombok Utara.
“Maka dengan regulasi ini akan mempercepat proses pembentukanya. Di Desa Bayan Wadah ini akan segera dibentuk sesuai dengan jadwal yang dikirimkan BPM Lombok Utara,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Fasilitator MKD Desa Loloan Rumalam, dalam konteks lembaga adat di Kecamatan Bayan khususnya di Desa Bayan dan Loloan, fungsi MKD lebih kepada masalah penegakan pranata yang ada dimana pranata tersebut lebih pada mengatur soal tiga dimens. Pertama, adat krama,yang mengatur tatanan hukum dalam perkawinan (pembayaran aji karma), tatanan dalam perluasan keluarga.
Kedua, adat tapsila, yang mengatur kehidupan sosial masyarakat yaitu mengatur sopan santun, tata tertib dalam pergaulan sehari-hari. Ketiga, adat gama meliputi dua hal yaitu, Gawe Ayu (acara yang berhubungan dengan kehidupan manusia) dan Gawe Ala (acara yang berhubungan dengan kematian).
Melihat fungsi tersebut, menurut Rumalam, dan juga mengacu pada regulasi yang ada (Perbup Lombok Utara) tentang keberadaan MKD, maka lembaga tersebut sebaiknya tidak difungsikan menjadi lembaga pengawasan. “Lebih tepat peran dan fungsinya lebih pada memediasi persoalan-persoalan sosial di masyarakat termasuk juga konflik petani misalnya persoalan pupuk bersubsidi,” ujarnya.
Dia menegaskan, jika antara petani dengan pengurus kelompok atau dengan pengecer selama ada aduan atau kompain petani maka lembaga ini juga bisa menyelesaikan sengketanya melalui “cara adat”. “Jika kedua belah pihak tidak sepakat dan menerima hasil mediasi maka, lembaga ini bisa merekomendasikan, ke pihak yang berwenang seperti KP3 jika masalahnya persoalan pupuk bersubsidi tapi kalau masalahnya lain maka dibawa ke pihak yang berwenang,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Karyadi, untuk kekuatan hukum keterlibatan MKD dalam program pupuk bersubsidi baik untuk pengawasan ataupun menjalankan fungsi mediasi ketika ada sengketa, maka dengan sudah adanya peraturan bupati, maka di tingkat desa tinggal diterbitkan peraturan desa ataupun SK Desa. “Perdes atau SK Desa ini akan menjadi acuan atau dasar bagi para pelaksana dalam menjalankan peran dan fungsinya,” ujarnya.
Karyadi mengatakan, untuk pengawasan pupuk bersubsidi sangat penting sehingga perlu dilakukan koordinasi dengan pihak terkait termasuk KP3 di tingkat Kabupaten. “Jika ingin didorong ada sebuah pengawasan dari masyarakat di tingkat desa maka perlu ada sebuah regulasi pendukung untuk pembentukan di tingkat desa, bisa juga namannya ‘Satgas Pengawasan Pupuk Bersubsidi’ dengan tujuan agar tidak terjadi tumpang tindih,” ujarnya.
Karyadi dan sendiri Rumalam sendiri menegaskan komitmen mereka untuk bisa melaksanakan pengawasan itu. “Berangkat dari persoalan kelangkaan pupuk dan adanya data fiktif di usulan RDKK maka kami akan mengundang kelompok tani, PPL dan pengecer untuk mencari solusi bersama mengatasinya,” tegas Karyadi.
Lantas bagaimana dengan tanggapan dari tokoh adat? Kamardi, seorang tokoh adat yang juga penggagas kelahiran MKD di Lombok Utara mengatakan, dalam konteks sosial, perlu dipahami lebih awal bahwa berdirinya Majelis Krama Desa didasari oleh UU No. 6 tahun 2014, Pasal 95 yaitu kewenangan desa tentang asal usul. Dari ruang ini, maka di Kabupaten Lombok Utara menerbitkan Perbub No. 20 tahun 2017 tentang Pedoman Majelis Krama Desa (MKD).
“Proses pembentukan di desa tidak hanya sekadar bentuk tapi ada proses-proses yang dilakukan baik dari Perdesnya sampai pada SK Kades untuk kepengurusannya,” ujarnya.
Kamardi mengungkapkan, MKD adalah sebuah lembaga teknis yang peran dan fungsinya lebih pada mediasi sengketa-sengketa atau perselisihan warga dengan penyelesaian secara hukum adat. “Kalau konteks pengawasan bukan menjadi kewenangannya tapi lebih pada menerima aduan atau komplain warga,” ujarnya.
Bicara tentang aduan atau komplain warga, bisa saja mencakup persoalan pupuk bersubsidi. Maka, kata dia, jika ada aduan warga tani dengan kelompoknya atau dengan pengecer kemudian mengadu ke MKD maka MKD berhak untuk melakukan analisa, verifikasi aduannya untuk dimediasi. “Jika hasil mediasi tidak bisa terselesaikan maka MKD dapat merekomendasikan ke pihak berwenang misalnya ke KP3 Kabupaten atau pihak lainnya yang punya kewenangan untuk menyelesaikannya,” ujarnya.
Kamardi mengakui, hingga saat ini MKD belum pernah melalukan pengawasan terhadap jalannya program pupuk bersubsidi walaupun pemerintah sudah lama menelurkan kebijakan ini, sementara pada implementasinya sering terjadi masalah. “Bahkan di Provinsi Sulawesi Kepala Dinas terjerat dengan hukum gara-gara pupuk bersubsidi. Lalu di Kabupaten Lombok Utara seperti apa? Beberapa minggu yang lalu di Kecamatan Tanjung, petani hampir membakar gudang milik pengecer karena pada saat membutuhkan pupuknya tidak ada,” kisahnya.
Karena itu, mengingat pupuk menjadi kebutuhan dasar dari petani dan meminimalisir persoalan-persoalan yang terjadi maka, untuk pengawasan, kata Karmadi sebaiknya dilakukan oleh KP3. “Saya mendorong adanya pengawas tingkat desa (KP3 tingkat desa) dengan merujuk pada kebijakan pupuk bersubsidi,” ujarnya.
Dia juga mengaku, jika diperlukan, akan mendorong pula adanya Satgas Pengawasan Pupuk Bersubsidi di tingkat desa melalui regulasi dari perbub sampai perdes dengan mengacu pada UU No 6 tahun 2014 pasal 94 tentang Kewenangan Desa untuk bisa membentuk lembaga yang sesuai dengan kebutuhan warga. Atau melalui laporan dengan mengacu pada UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Perpres No 76 tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan.
“Sementara MKD didudukkan sebagai lembaga mediasi dalam menyelesaikan sengketa atau perselisihan warga dengan pendekatan hukum adat,” pungkasnya. (*)
Laporan: Tim Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)