Mengatasi Kelangkaan Air di Suriah
|
Jakarta, Villagerspost.com – “Hidup saya berputar pada kebutuhan saya akan air. Kadang kala saya melewatkan pekerjaan atau terjaga sepanjang malam menyalakan pompa air lokal dan mematikannya hanya untuk menunggu air mengucur dari keran.”
Kelangkaan air telah mengubahnya menjadi penantian panjang. Itulah realitas yag harus dihadapi Razan (30 tahun) seorang akuntan yang tinggal bersama ibunya di kota Salamiyah, Suriah. Sebelum pecah perang, Razan bisa mandi kapanpun dia mau, tetapi sekarang dengan terjadinya kelangkaan air, Razan hanya bisa mandi seminggu sekali.
Seperti kebanyakan perempuan, dia tentu sanga peduli dengan penampilannya. Dua kali sepekan, dia mencuci rambutnya menggubakan air hangat dari sebuah ceret kecil. Dia membilasnya dan menampung air bilasan itu di ceret lain untuk mengumpulkan setiap tetes air. Air bilasan rambut itu dia gunakan untuk menyiram toilet.
Demikian pula dengan air sisa cucian yang dikumpulkan dari mesin cuci, dikumpulkan di sebuah ember untuk mengepel rumah. Tak satupun tetesan yang berharga dibuang-buang.
“Saya menjadi terobsesi untuk mengumpulkan cukup air. Dan ketika saya menggunakannya saya selalu berpikir apakah sisanya cukup untuk keluarga saya? Saya tidak bisa hanya memikirkan diri sendiri,” kata Razan dalam surat elektronik yang diterima Villagerspost.com, Rabu (5/8).
Sebelum pecah perang, populasi kota Salamiyah di Provinsi Hama mencapai 15.000 orang. Saat ini telah bertambah sebanyak tiga kalinya seiring penduduk Homs dan Hama mengungsi ke kota itu, menambah beban bagi sumber air.
Terpisah dari beberapa sumur bor, sedalam 400 meter yang mengandung air bersulfur yang tak bisa diminum, sumber air terdekat berjarak 80 kilometer dari perbatasan Suriah-Lebanon dan separuhnya rusak akibat konflik. Memompa air dari jarak sejauh itu merupakan hal yang berisiko dan jika aliran listrik terputus membuat sistem pompa seringkali tak berfungsi.
Di tahun 2010, air menjangkau rumah-rumah di Salamiyah setiap tiga hari di tengah malam selama 3 jam. Saat ini air mengucur hanya setiap 10 hari sekali. Kadang air tak mengucur sama sekali selama berbulan-bulan. Taman kecil di kota itu yang dulunya banyak ditumbuhi bunga, buah dan sayuran, kini gersang karena orang-orang masing-masing menyimpan kebutuhan airnya untuk diri sendiri.
Seperti yang lainnya, Razan menanggung beban keuangan karena harus membeli air dari truk di pasar yang tidak stabil dengan harga yang mengalami inflasi. 1000 liter air biasanya dihargai 400 Pound Suriah atau setara 1,35 Pound Inggris. Saat ini air sejumlah itu berharga 1.200 Pound Suriah atau setara 4 Pound Inggris dan hanya cukup memenuhi kebutuhan keluarga selama beberapa air.
Akhirnya Oxfam berkonsultasi dengan Otoritas Pengairan di Hama dan penduduk di Salamiyah menyadari bahwa satu-satunya solusi adalah untuk mengolah air di lubang bor di kota itu untuk diubah menjadi air yang bisa diminum dengan menyingkirkan kandungan sulfurnya. Proses ini memerlukan teknik khusus dan keterampilan. Inilah yang menjadi komitmen Oxfam untuk menyediakan instalasi pengolahan air menggunakan sistem reverse osmosis.
Ini merupakan proyek yang riskan dan kompleks yang menuntut keahlian dan perlengkapan untuk dibawa ke kota itu. Itu artinya harus mengatasi tantangan logistik dan keamanan yang tinggi. Tetapi bulan lalu, pada tanggal 2 Juni, air yang bisa diminum dari instalasi itu sudah bisa didapatkan penduduk Salamiyah untuk pertama kalinya, dan memberi manfaat bagi sekitar 35.000 penduduk.
Sistem reverse osmosis berhasil menyingkirkan kandungan sulfur yang baunya tak enak dan padat di dalam air. Instalasi itu mampu menghasilkan 50.000 liter air per jam dan tersambung dengan sistem pengairan di kota itu. Instalasi itu dibangun dan dioperasikan oleh insinyur dan teknisi Suriah dibantu kontraktor lokal dan Otoritas Pengairan di Hama.
Penasihat Kebijakan Oxfam Yordania-Inggris Alexandra Saieh mengatakan, ini adalah keberhasilan nyata. Saat perang berlangsung terus di Suriah, pasokan listrik tetap tersendat dan kelangkaan air terus terjadi karena banyaknya penduduk yang tinggal di kota itu, tetapi setidaknya orang seperti Razan dan lainnya kini bisa mendapatkan akses yang lebih baik dan sumber air yang bisa diadalkan.
“Tim Oxfam sukses mengoperasikan sistem itu untuk pertama kalinya dan menjalankan tes kualitas air untuk meyakinkan kualitas air memenuhi standar,” kata Saieh. (*)