Menghapus Praktik Perkawinan Anak, Menghapus Kekerasan Terhadap Anak
|
Jakarta, Villagerspost.com – Penghapusan praktik perkawinan anak menjadi salah satu titik penting dalam upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K. Susilo mengatakan, selain menghapus kekerasan, penghentian praktik perkawinan terhadap anak juga penting agar anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang lebih berkualitas dengan tidak menjadi korban kawin di usia anak.
“Kita harus bekerja bersama dengan pemerintah agar anak-anak tidak kawin dalam usia anak-anak agar menjadi generasi yang lebih berkualitas selama hidupnya,” kata Zumrotin pada acara talkshow yang menjadi bagian dari agenda 16 hari kampanye melawan kekerasan gender yang diselenggarakan Uni Eropa dan UN Women pada hari ini, di Jakarta, Kamis (8/12).
Dalam seruan kampanye ini disebutkan, salah satu bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KTPA) yang terjadi di Indonesia adalah perkawinan anak. Menurut data Badan PBB untuk Anak (UNICEF) sekitar 17 persen perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun (UNICEF, 2015). Saat ini Indonesia berada di urutan 37 dari 73 negara pada kasus kawin pertama dalam usia muda serta menempati peringkat tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja (Data World Fertility Policies, United Nations, 2011).
Dari data itu tampak bahwa Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak masih merupakan masalah besar di Indonesia. Menurut Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dilaporkan terjadi 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2015 secara nasional (Komnas Perempuan, 2016). Dan setiap satu menit terjadi kekerasan terhadap 5 perempuan Sedangkan menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa 35 persen perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya (UN Women, 2016).
Data tersebut menunjukkan betapa rentannya kehidupan perempuan saat ini, karena kekerasan itu bisa terjadi dimana saja dan siapapun bisa menjadi korban dan siapapun bisa menjadi pelaku. Padahal, perkawinan anak mempunyai banyak dampak negatif.
“Jika anak dikawinkan di usia dini, akan membuat hidupnya tidak baik karena ia putus sekolah kemudian menjadi kesepian dan rentan kekerasan,” kata Direktur Program Keadilan Gender Oxfam di Indonesia Antarini Arna.
“Mari kita ajak anak-anak muda agar menggunakan haknya untuk tidak mau saja diminta kawin pada usia dini sehingga ini bisa mengubah cara pandang dan norma yang menganggap perkawinan anak bukan hal yang normal,” kata Antarini Arna.
Berbagai alasan praktik perkawinan anak tetap terjadi. Pertama, karena alasan kepercayaan dan budaya yang menyatakan bahwa perempuan sudah layak menikah ketika sudah mengalami menstruasi. Kedua, yaitu alasan ekonomi yang menempatkan perempuan sebagai beban tambahan bagi keluarga, sehingga dengan dikawinkan maka akan mengurangi beban ekonomi keluarga. Ketiga, yaitu kerangka hukum yang menyatakan bahwa perempuan dapat menikah secara legal di bawah usia 16 tahun.
Maka upaya mengatasi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak serta mencegah perkawinan anak menjadi strategi penting dalam upaya Oxfam di Indonesia dan mitra untuk menciptakan dunia yang adil tanpa kemiskinan. Sejak tahun 2015 Oxfam di Indonesia berpartisipasi dalam kampanye 16 hari anti-kekerasan terhadap perempuan.
Tahun 2016 ini kampanye yang dilakukan Oxfam di Indonesia dan Kalyanamitra dalam upaya “Menghapuskan Praktik Perkawinan Anak” di Indonesia secara khusus akan menyasar pada perubahan norma sosial yang melanggengkan praktik-praktik perkawinan anak dengan melibatkan anak-anak muda yang rentan menjadi korban pernikahan anak. Rangkaian kegiatan kampanye Oxfam di Indonesia dan Kalyanamitra meliputi pendidikan untuk kelompok anak-anak muda mengenai KTPA, Hak-hak Anak dan Hak Kesehatan Reproduksi untuk anak-anak di sekolah; lomba membuat meme/poster terkait pernikahan anak; serta Youth Forum: Menolak Perkawinan Anak.
Lewat kampanye ini, Oxfam dan Kalyanamitra menegaskan: Pertama, praktik perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak serta melanggar hak perempuan dan hak anak. Kedua, menikah di bawah usia 18 tahun menghancurkan ketahanan keluarga. Ketiga, mengatasi perkawinan anak merupakan bagian dari impelementasi Sustainable Develompment Goals yaitu pada goals, kelima tentang kesetaraan gender. (*)
Ikuti informasi terkait kekerasan pada perempuan dan anak >> di sini <<