Mengkaji Ulang Program Kedaulatan Pangan Pemerintah
|
Bogor, Villagerspost.com – “Program kedaulatan pangan yang dilaksanakan pemerintah harus dikaji ulang!” Hal itu dikatakan Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah dalam Diskusi terfokus bertajuk ‘Identifikasi Kebijakan dan Hak atas Pangan dalam Rangka Penguatan Efektivitas dan Akuntabilitas Kebijakan Pertanian dan Pangan, yang dihelat di Bogor, Selasa-Rabu, 23-24 Agustus 2016.
Diskusi terfokus ini dihadiri oleh beberapa lembaga terkait, diantaranya Badan Ketahanan Pangan (BKP), Pusat Studi Ekonomi Kebijakan Pertanian (PSEKP), KRKP dan Jaringan NGO nasional maupun daerah. Diskusi ini difokuskan pada analisis terhadap program pemerintah terkait dengan hak atas pangan yang relevansinya dianggap kurang.
Dalam kesempatan itu, Said menegaskan, kaji ulang program kedaulatan pangan pemerintah ini penting untuk melihat dimana letak kelemahan program maupun kebijakan pangan tersebut. “Sebenarnya langkah ini telah dilakukan oleh Inspektorat Kementerian Pertanian, tapi penilaian oleh penerima manfaat langsung yaitu oleh masyarakat menjadi lebih mengena. Proses inilah yang disebut dengan audit sosial,” ujarnya.
Dia berargumen, selama ini, program-program kedaulatan pangan banyak yang disusun dari ibukota, sehingga pertimbangan sosial budaya lokal jarang menjadi perhatian pemerintah. “Pemerintah hanya fokus pada kecukupan pangan nasional, sehingga sering terjadi apa yang diupayakan oleh pemerintah pusat di daerah tidak diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat atau khususnya petani,” ujarnya.
Said mengaku bisa memahami mengapa pemerintah begitu menggebu-gebu dalam mendongkrak kecukupan pangan. Pemerintah, memang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. “Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhanya menjadi bagian dari hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara,” ujarnya.
Karena itu tak heran jika dalam upaya memenuhi kewajiban itu, Presiden Joko Widodo melalui Nawacita-nya berupaya untuk menciptakan swasembada pangan pada 2017 untuk menjamin hak rakyat atas pangan. Sayangnya, pemerintah akhirnya malah terfokus pada program mendongkrak kecukupan pangan.
Pemerintahan Jokowi terlihat begitu fokus pada peningkatan produksi dan itu terlihat dari program-program yang dilaksanakan Kementerian Pertanian. Misalnya program upaya khusus padi, jagung, kedele (upsus pajale) yang mendapatkan perhatian sekaligus pendanaan begitu besar dari pemerintah.
Bahkan untuk meningkatkan produk ketiga komoditas tersebut demi mencapai swasembada pemerintah juga membangun berbagai infrastruktur penunjang seperti perbaikan infrastruktur jaringan irigasi, pengembangan optimasi lahan, bantuan benih unggul bermutu, bantuan pupuk, bantuan alsintan (alat dan mesin pertanian) dan peningkatan pengawalan di lapangan oleh penyuluh. “Sayangnya perhatian yang terlalu besar pada satu atau beberapa sektor ini malah menimbulkan ketimpangan,” jelas Said.
Ini, kata dia, menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah belum sepenuhnya menjawab kebutuhan rakyat dalam konteks hak atas pangan. “Malah menunjukan inefisiensi uang negara,” jelas Said.
Anggaran pemerintah di kemeterian pertanian meningkat tajam menjadi Rp32,8 triliun pada tahun 2016, dimana anggaran pada satu tahun sebelumnya adalah Rp15,9 triliun. Peningkatan jumlah anggaran ini belum sejalan dengan apa yang dicita-citakan pemerintah yaitu daulat pangan.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2015 menunjukan Indonesia Timur masih mengalami defisit tinggi produksi pangan. “Dari ketimpangan tersebut, efisiensi dan akuntabilitas kinerja pemerintah perlu dilihat dan dikaji ulang,” tegas Said.
Menanggapi saran tersebut, Dr. Shahyuti dari PSEKP mengatakan, pencapaian swasembada pangan saat ini memang tidak ada hubunganya dengan kesejahteraan petani. Dia melihat, definisi kedaulatan pangan yang harusnya mengikutsertakan petani sebagai subyek untuk diangkat kesejahteraanya menjadi pudar.
“Ambisi pemerintah dalam mencapai kedaulatan pangan menjadi parsial. Target swasembada pangan hanya berorientasi pada jenis pangan tertentu saja, bukan pada swasembada pangan berbasis kekayaan lokal yang ada,” ujarnya.
Program yang terlalu fokus pada komoditas tertentu ini, kata Shahyuti, di sisi lain bisa mengancam keanekaragaman (diversity) pangan yang dimiliki Indonesia. “Selain itu juga dapat mengubah budaya bertani bangsa kita. Bangsa kita memiliki berbagai macam jenis tanaman pangan, tapi dengan program pemerintah yang mengorganisir petani untuk hanya menanam tiga jenis tanaman pangan yaitu padi, jagung dan kedelai akan mengancam keberadaan kekayaan tanaman pangan kita,” tegasnya.
Karena itu, Shahyuti menyambut baik diadakannya diskusi semacam ini. Dia berharap, setelah kajian ini dilakukan, program pertanian dan pangan nasional lebih relevan dan lebih nusantara. “Dalam artian pemerintah bisa menghargai kekayaan yang dimiliki oleh beragam petani kita dan dapat mendorong petani kita menanam tanaman pangan yang diinginkan,” ujarnya.
“Bila petani menanam dengan jenis padinya sendiri, dengan jagungnya sendiri dan dengan jenis-jenis lainnya yang sudah beratus tahun telah menjadi bahan pangan pokok di daerah mereka masing-masing, mudah-mudahan negara Indonesia dapat mencapai kedaulatan pangan dengan berdikari, bukan dengan intervensi perusahaan besar yang mencengkeram petani kita,” pungkas Shahyuti.
Sementara itu, Ir. Mulden Damanik dari Badan Ketahanan Pangan mengatakan, diskusi ini menjadi sangat penting dilakukan, karena semakin banyak pihak yang terlibat dalam wacana hak atas pangan, maka akan semakin banyak pilihan solusi yang ditawarkan untuk perbaikan pangan Indonesia. “Dengan adanya diskusi dan kajian lebih lanjut atas kebijakan pangan pemerintah, ke depan program pangan pemerintah lebih efektif dan efisien dilaksanakan di tingkat paling bawah,” ujarnya. (*)
Laporan: Hariadi Propantoko, Anggota Gerakan Petani Nusantara, Bogor, Jawa Barat