Mengurai Benang Kusut kebijakan Pupuk Bersubsidi
|
Maros, Villagerspost.com – Kebijakan pupuk bersubsidi yang dilaksanakan pemerintah sejak bertahun-tahun lalu masih terus dihantui persoalan yang itu-itu saja. Yang paling umum adalah soal kelangkaan pupuk bersubsidi. Dalam rangka mengurai benang kusut persoalan pupuk tersebut, Perkumpulan Pengembangan Kapasitas dan Akselerasi Kualitas Layanan Publik Indonesia (Perkumpulan Katalis) dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) bekerja sama dengan OXFAM, melaksanakan kegiatan audit pupuk bersubsidi.
Audit sosial kebijakan pupuk bersubsidi ini dilakukan di beberapa daerah. Untuk Sulawesi Selatan audit dilakukan di Maros dan Luwu Utara. Audit dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, seperti wawancara, kuesioner dan observasi.

Hasil kegiatan yang telah berlangsung sejak Januari 2017 lalu itu, dipaparkan dalam sebuah forum terbuka pada acara bertajuk “Diseminasi Hasil Audit Kebijakan Pupuk Bersubsidi”, pada Rabu (20/9) bertempat di Aula RM Nusantara, Maros, Sulawesi Selatan. Hadir dalam acara itu, Ketua DPRD Maros H.A.S Chaidir Syam, Kadis Pertanian Maros Muh Nurdin, Kadis Koperindag Maros Syamsir, para kepala desa, dan sejumlah kelompok tani, serta perwakilan koperasi unit desa.
Dalam kesempatan itu Perkumpulan Katalis memaparkan beberapa temuan terkait program pupuk bersubsidi. Yang pertama adalah soal kelangkaan pupuk. Ketua Perkumpulan Katalis Siswan mengatakan, kelangkaan pupuk bersubsidi yang terjadi hampir setiap musim tanam, salah satunya dikarenakan oleh banyaknya oknum nakal yang memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi, baik ditingkatan distributor sampai pada penyalur.
“Kami memang menemukan ada oknum nakal yang bermain dalam distribusi pupuk dan membuat kelangkaan,” kata Siswan, kepada Villagerspost.com.
Dia juga menyoroti masalah perencanaan pupuk bersubsidi dalam penentuan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). “Selama ini, RDKK masih sekadar formalitas, akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara data dalam RDKK dengan kondisi lapangan sesungguhnya,” terang Siswan.

Kemudian, dalam penentuan RDKK, keterlibatan perempuan juga masih kurang. “Padahal keterlibatan perempuan dalam perencanaan kebutuhan keolompok juga penting agar dalam penentuan alokasi sumber daya rumah tangga perempuan dapat mengelola secara bijak untuk pembelian pupuk,” ujar Siswan.
Konsekuensi dari kekurangakuratan data RDKK menyebabkan ketidakefisienan jumlah pupuk yang disubidi, termasuk kemungkinan terjadinya ketidaktepatan sasaran penerima manfaat atau manipulasi. Siswan mengatakan, dari hasil audit terungkap, fungsi manajemen seperti monitoring dan evaluasi tidak berjalan dengan efektif. Kehadiran Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) untuk pengawasan masih bersifat sekadar memenuhi persyarat regulasi.
Sementara peran pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dalam melakukan monitoring dan evaluasi tidak terlihat. “Akibatnya, meskipun kebijakan ini telah berlangsung lama namun setiap saat masih terkendala pada masalah yang sama seperti kelangkaan pupuk, saat dibutuhkan petani,” papar Siswan.
Persoalan kedua, kata Siswan, meskipun petani lama menikmati kebijakan pupuk bersubsidi, namun pemahaman utuh atas kebijakan pupuk bersubsidi masih rendah. “Sangat minim sosialisasi yang dilakukan pemerintah atau penyelenggara kebijakan,” kata Siswan.

Dalam praktiknya, petani masih minim edukasi terkait penggunaan pupuk secara berimbang agar hasilnya dapat maksimal. “Akibatnya perlakuan terhadap semua tanaman dan jenis lahan masih sama dalam memberikan takaran pupuk,” terang Siswan.
Dia menekankan, pemahaman penggunaan pupuk berimbang ini juga penting melibatkan kaum perempuan. “Karena perempuan lebih telaten, teliti dan sabar, sehingga outcome-nya terwujud,” kata Siswan.
Persoalan ketiga, ketegantungan petani pada pupuk bersubsidi sangat tinggi. “Akibatnya kemandirian petani dalam memproduksi pupuk organik tidak bisa berkembang,” tegas Siswa.
Karena itu, dari pemaparan temuan masalah tersebut, Perkumpulan Katalis merekomendasikan beberapa solusi. Pertama adalah, penyelenggara kebijakan pupuk bersubsidi melakukan sosialisasi baik terhadap penerima maupun stakeholder. Kedua, pelatihan penggunaan pupuk yang berimbang bagi petani disertai pendampingan yang terukur baik dari sisi keterampilan petani maupun perkembangan tanaman secara berbeda antara lahan yang sangat subur, lahan subur dan lahan tidak subur untuk membuka pikiran petani.
Ketiga, pembenahan kelembagaan yang berfungsi melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan, pengawasan disertai dengan dukungan standar operasional dan anggaran yang transparan dan akuntabel.
“Keempat, perlu dilakukan pemberdayaan petani untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk bersubsidi melalui penggunaan pupuk organik yang diproduksi sendiri baik secara individual maupun kolektif,” terang Siswan.
Selain itu, juga penting melakukan edukasi bagi petani untuk membudidaya jenis tanaman yang pengaruh ekonominya lebih baik atau inovasi yang memberikan dampak signifikan bagi pengembangan kesejahteraan. Sebab budidaya padi bisa dikatakan tidak bisa diandalkan bila luas lahannya hanya di bawah dua hektare.
“Sayangnya, petani umumnya hanya penggarap sehingga tak punya kewenangan mengganti tanaman yang akan dibudidaya di lahan orang. Ini juga menjadi masalah jika mau melakukan inovasi. Sementara pemilik tidak terlalu tergantung pada hasil lahan karena masih memiliki pekerjaan lain,” pungkas Siswan.
Laporan/Foto: Uppy Supriadi, Anggota Perkumpulan Katalis, Jurnalis Warga untuk Villagerspost.com