Musim Giling Tebu Tiba, Jokowi Malah Impor Gula, DPR Pun Bertanya
|
Jakarta, Villagerspost.com – Presiden Jokowi pernah berjanji akan menyetop impor gula apabila merugikan petani tetapi pada kenyataannya, Kementeritan Perdagangan malah mengeluarkan izin impor pada 1 April 2015. DPR pun lantas mempertanyakan inkonsistensi pemerintahan Jokowi terkait kebijakan atas gula ini.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan dengan tegas mengkritik konsistensi pemerintah dalam mewujudkan Kebijakan Daulat Gula Nasional yang berpihak pada petani. “Ini pemerintah seperti lain bicara lain tindakan, tidak mewakili rasa sakit petani tebu. Karena itu jangan salahkan kalau dipublik muncul kesan pemerintah ini tidak sungguh-sungguh berpihak pada petani,” katanya dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (30/3) seperti dikutip dpr.go.id.
Wakil rakyat dari daerah pemilihan Jabar IV ini mengingatkan janji Jokowi akan menghentikan impor gula kepada petani tebu di Padepokan Arum Sabil, Desa Tanggul Kulon Kecamatan, Jember, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Waktu itu presiden menekankan kalau memang merugikan petani, dan gula dalam negeri cukup maka impor gula disetop.
Sementara Kementerian Perdagangan mengeluarkan izin impor gula mentah (raw sugar) untuk industri sebanyak 945.643 ton. Izin tersebut berlaku mulai 1 April 2015 sampai dengan 30 Juni 2015 atau hanya untuk kuartal kedua.
“Saya menyayangkan kebijakan Kemendag yang menerbitkan izin impor gula yang mulai berlaku per 1 April 2015. Kebijakan tersebut sungguh menyakiti perasaan petani kita yang terus terpuruk karena harga gula yang terus merosot di pasaran karena kebijakan impor,” tegas dia.
Ia menekankan minimnya koordinasi antara Kemendag, Kementan, Kemenperin sehingga dengan mudahnya pemerintah menyerah dan ujug-ujug melakukan impor gula yang nyata-nyata merugikan petani. Saat ini dengan HPP gula yang masih tinggi sekitar Rp8.500 dan mulai memasuki musim giling, sudah pasti petani akan sangat dirugikan karena gula impor bisa dijual lebih rendah.
Seharusnya ada kebijakan yang nyata atas pembatasan impor gula mentah untuk industri makanan, minuman dan farmasi yang memerlukan gula dengan tingkat kemurnian tinggi (icumsa 45) agar tidak merembes ke pasar-pasar tradisional dan merusak harga gula di pasaran.
Politisi FP Gerindra ini menilai pemerintah belum cukup berupaya mewujudkan solusi yang pernah diajukan petani dan beberapa asosiasi gula. Diantaranya adalah, benahi dan tingkatkan rendemen gula dari 7 menjadi 10% sehingga HPP bisa ditekan. Kedua, merevitalisasi pabrik gula yang berumur tua (dari 62 pabrik yg ada, 40 di antaranya sudah berumur di atas 100 tahun). Ketiga, melakukan perluasan areal tanam tebu yang saat ini hanya sekitar 470 ribu hektar dan dinilai belum ideal untuk menopang program swasembada gula.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian memang telah memberikan rekomendasi izin impor gula mentah atau yang biasa disebut raw sugar untuk kebutuhan industri gula rafinasi ke Kementerian Perdagangan sebesar 1,5 juta ton untuk kebutuhan kuartal kedua dan ketiga 2015.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan, rekomendasi izin impor raw sugar sejumlah itu sesuai dengan kebutuhan industri makanan-minuman. Pengajuan itu, menurut dia, terpaksa dilakukan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan April-Juni dan Juli-September.
“Pengajuannya sudah terlalu mepet dengan kebutuhan industri pada periode tersebut. “Hak industri makanan dan minuman untuk memperoleh bahan baku lebih cepat. Ini sudah terlambat,” kata Panggah beberapa waktu lalu.
Dia menerangkan, permintaan untuk periode April hingga September itu juga lebih besar daripada kebutuhan kuartal pertama yaitu bulan Januari-Maret 2015 yang hanya hanya sebesar 600 ribu ton. Sementara periode April-Juni dan Juli-September masing-masing 750 ribu ton. Naiknya permintaan ini, kata Panggah, terkait antisipasi lonjakan kebutuhan pada Lebaran pertengahan tahun ini.
Dia meminta pemerintah jangan disalahkan karena alasan impor adalah untuk penjaga kebutuhan industri, Kementerian hanya memastikan pengamanan bahan baku industri makanan dan minuman. “Kami jangan dipojokkan. Ini betul-betul untuk menentukan keberlangsungan industri,” pungkas Panggah. (*)