Nelayan Desak Pemerintah Dukung Putusan Arbitrase Laut China Selatan

Kapal-kapal asing pelaku illegal fishing yang diledakkan Kementerian Kelautan dan Perikanan baru-baru ini (dok. kkp.go.id)
Kapal-kapal asing pelaku illegal fishing yang diledakkan Kementerian Kelautan dan Perikanan baru-baru ini (dok. kkp.go.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendukung Pemerintah Republik Indonesia untuk menyatakan sikap dan dukungan atas putusan The Permanent Court of Arbritase (PCA) antara China dan Filipina. “Sikap ini akan menegaskan posisi Indonesia kepada China atas tindakannya yang tidak mengakui keputusan PCA yang mengabulkan gugatan Filipina terhadap klaim China atas wilayahnya di sekitar Laut China Selatan,” kata Ketua KNTI Marthin Hadiwinata, Kamis (14/7).

Dia menjelaskan, setidaknya terdapat tiga alasan utama pemerintah Indonesia untuk mendukung keputusan tersebut mengingat besarnya nilai sumber daya di Laut China Selatan. Pertama, pernyataan sikap dan dukungan tersebut akan memberikan keuntungan kepada Indonesia terkait dengan sengketa klaim batas-batas wilayah maritim di Laut China Selatan.

Pasalnya, Indonesia telah berulang kali menerima pelanggaran hukum laut internasional oleh China dengan tindakan sewenang-wenang memasuki wilayah perairan Indonesia. Tindakan kapal perikanan berbendera China secara tanpa izin memasuki wilayah zona ekonomi Indonesia untuk menangkap ikan dan teriindikasi merupakan pelanggaran Illegal Unregulated Unreported Fishing.

“China melanggar batas wilayah Indonesia dengan memasuki perairan Natuna (WPP 711) yang merupakan wilayah hak berdaulat Indonesia,” kata Marthin.

Kedua, China sebagai pihak yang telah meratifikasi UNCLOS 1982 sejak 7 Juni 1992 termasuk pihak yang tunduk pada ketentuan UNCLOS 1982. China selama ini mengklaim wilayah Laut China Selatan dengan Sembilan Garis Putus (Nine Dash Lines) imajiner yang menjadi penanda batas wilayah maritim sebagai zona ekonomi ekslusif China. Dengan berdasarkan klaim tersebut China melakukan pembangunan pangkalan militer termasuk melakukan pembuatan pulau reklamasi (artificial island) secara sepihak.

“Putusan ini secara tegas menghilangkan klaim sepihak dari China yang akan berdampak kepada Negara Anggota ASEAN lain yang berhubungan dengan China,” ujar Marthin.

Ketiga, dukungan tersebut akan membantu upaya Indonesia untuk menghapuskan Illegal Unregulated and Unreported (IUU) Fishing. Selama ini klaim China sebagai negara penghasil produksi perikanan menunjukkan kecurigaan dimana luas lautnya tidak sebanding dengan sumber daya yang tersimpan.

Akibatnya angka produksi perikanan sangat tidak jelas kepastian dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu terindikasi permasalahan IUU Fishing tidak hanya terkait dengan kegiatan penangkapan ikan tetapi terkait dengan kegiatan lainnya eperti pengolahan. Sehingga dapat mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional untuk memastikan penyelesaian Laut China Selatan.

Menurut Marthin, keputusan PCA tersebut secara tegas menyatakan lima hal utama. Pertama, tidak ada dasar hukum yang kuat bagi China untuk mengklaim hak historis atas sumber daya laut yang berada dalam sembilan garis putus. Kedua, menegaskan status perairan yang diklaim china sebagai Zona Ekonomi Eklusif sebagai hak berdaulat dari Filipina.

Ketiga, China telah melanggar hak berdaulat Filipina dengan melakukan berbagai pelanggaran hukum UNCLOS. Keempat, Adanya ancaman terhadap lingkungan hidup dengan pembangunan yang tidak memenuhi kaidah hukum lingkungan internasiona.

“Kelima, pengabaian penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh China tidak berlaku karena tidak berdasar hukum dimana sebaliknya dengan tetap melanjutkan kegiatan pembangunan, maka China sesungguhnya melanggar kewajiban negara dalam setiap proses penyelesaian sengketa,” pungkasnya. (*)

Ikuti informasi terkait perairan Natuna >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.