Nelayan Jawa Tengah Hadapi Perampasan Ruang Hidup

Nelayan tradisional terkepung pembangunan kota (dok. kiara)

Semarang, Villagerspost.com – Nelayan Jawa Tengah saat ini tengah menghadapi ancaman perampasan ruang hidup. Forum Nelayan Jawa Tengah mencatat sejumlah praktik perampasan ruang hidup nelayan dan masyarakat pesisir Jawa Tengah dalam sejumlah bentuk. Diantaranya adalah Kasus reklamasi di Pesisir Tapak dan Pesisir Tugurejo di Kota Semarang.

“Kemudian aja juga kasus penambangan pasir besi di wilayah Pesisir Jepara dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang, Jepara dan Cilacap yang mengusir nelayan dari wilayah tangkapnya,” kata Sugeng, nelayan asal Kendal, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (24/8).

Sugeng menilai, hal ini sangat ironis mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber daya perikanan dan pesisir begitu melimpah. “Sayangnya kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya masih hidup dalam kondisi yang miskin dan memprihatinkan. Perampasan ruang hidup oleh korporasi besar adalah satu diantara sekian persoalan genting yang selalu kami hadapi,” keluhnya.

Masnuah dari Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Demak mengatakan, dampak dari perampasan ruang hidup di wilayah pesisir Jawa Tengah dalam bentuk reklamasi, pertambangan pasir besi, dan PLTU adalah hilangnya mata pencaharian yang dialami oleh sedikitnya 26.186 jiwa nelayan. “Pada saat yang bersamaan, negara masih saja belum mau memberikan pengakuan politik terhadap keberadaan perempuan nelayan sebagai garda terdepan penjaga dan produsen protein bangsa,” tegas Masnuah.

Persoalan serupa dihadapi oleh petambak garam tradisional yang harus berhadapan dengan gempuran garam impor. Permasalahan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya di Jawa Tengah semakin rumit ditambah dengan ketiadaan perlindungan nelayan dalam bentuk asuransi yang seharusnya diberikan oleh pemerintah.

Berdasarkan peta permasalahan tersebut, Forum Nelayan Jawa Tengah menuntut dan meminta kepada DPRD Provinsi Jawa Tengah agar melakukan beberapa langkah berikut. Pertama, meminta dan mengawal pembahasan rancangan peraturan daerah tentang penetapan zonasi wilayah pesisir. Raperda Zonasi Jawa Tengah yang merupakan mandat revisi UU No. 01 tahun 2014 tentang perubahan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil harus memastikan hak akses nelayan terhadap wilayah tangkap dan serta mempertahankan ruang ekologi sebagai benteng perlindungan terhadap masyarakat pesisir.

“Tidak kalah penting adalah melibatkan partisipasi masyarakat pesisir dan menempatkan hak-hak nelayan,” tegas Sukarman dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Kedua, membuat terobosan hukum untuk menyelesaikan konflik horizontal atas terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2015. Permen KP ini yang bermuatan larangan penggunaan alat tangkap tertentu harus disertai dengan langkah konkret dengan membuat skema perubahan alat tangkap pengganti cantrang. “Tidak kalah penting adalah memastikan masa transisi dengan tidak menjadikan nelayan sebagai korban penegak hukum di laut,” tambah Sukarman.

Ketiga, memastikan kebijakan perlindungan dan pemberdayaan nelayan dan petambak tradisional dengan pembuatan Perda yang merupakan mandat UU No. 07 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan Nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam. Keempat, membuat terobosan kebijakan dengan menolak impor garam disertai penguatan pengelolaan garam tradisional oleh petambak garam sehingga mempunyai kemampuan mengelola garam sesuai kebutuhan pasar. (*)

 

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.