Nelayan Pulau Pari Tidak Terbukti Lakukan Pungli

Gerbang masuk kawasan Pulau Pari (dok. change .org)

Jakarta, Villagerspost.com – Persidangan pidana tiga nelayan Pulau Pari yang dikriminalisasi saat mengelola Pantai Perawan telah memasuki agenda pledooi atau pembelaan dari penasihat hukum. Kejaksaan Negeri Jakarta Utara sebelumnya menuntut tiga nelayan pulau pari agar divonis hukuman 2 (dua) tahun penjara karena melanggar Pasal 368 Ayat (1) KUHP karena mengambil donasi di Pantai Perawan, Pulau Pari, Kepulauan Seribu.

Dalam pledooi atau pembelaaan yang dibacakan dalam persidangan Selasa (2/10), penasihat hukum menilai, ketiga nelayan Pulau Pari tidak terbukti melakukan perbuatan tindak pidana apapun, termasuk pungli. “Hal ini didasarkan dari seluruh bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan. Ada lima hal yang menguatkan ketiga nelayan Pulau Pari tidak bersalah,” kata kuasa hukum nelayan Pulau Pari Tigor Gemdita Hutapea, dalam siaran pers yang diterma Villagerspost.com, Selasa (3/10).

Pertama, seluruh saksi yang dihadirkan baik dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau Penasihat hukum memberikan keterangan tidak terjadi perbuatan kekerasan atau ancaman yang dilakukan oleh para terdakwa. “Saksi JPU saat kejadian hanya mempertanyakan penarikan kenapa ada uang donasi namun tidak keberatan saat membayar. Penilai jaksa telah terjadi pemerasan tidak dapat dibuktikan,” terang Tigor.

Kedua, pengelolaan pesisir merupakan hak masyarakat pesisir yang dilindungi oleh Undang-Undang. Ini diperkuat oleh keterangan ahli Dr. Dedhy Adhuri yang menerangkan pengelolaan pariwisata dan perikanan oleh masyarakat terjadi diberbagai daerah seperti Aceh, Lombok Utara, Lombok Timur, Maluku dan Papua. Hal ini dilindungi UU khususnya UU Nomor 1 Tahun 2014 Jo UU No 27 Tahun 2007. “Untuk menjamin keberlangsungan pengelolaan masyarakat dibenarkan untuk mengambil donasi secara wajar,” ujarnya.

Ketiga, tiga orang nelayan Pulau Pari itu tidak melakukan Pungli. Ahli Yustinus Prastowo menjelaskan karena Pantai Perawan tidak dibangun, tidak dimiliki atau tidak dikelola pemerintah daerah maka berdasarkan UU No 28 Tahun 2009 Pantai Perawan tidak dapat menjadi objek retribusi. Yang dapat dijadikan objek retribusi adalah pelayanan yang dibangun, dimiliki atau dikelola pemerintah daerah.

Tindakan mengambil donasi juga tidak dilarang berdasarkan UU No 28 Tahun 2009. “Terminologi pungli hanya dapat dikenakan kepada aparat pemerintah yang mengutip uang diluar biaya resmi,” tegas Tigor.

Keempat, ketiadaan izin mengelola bukan pelanggaran pidana. Berdasarkan UU No 1 Tahun 2014 setiap orang yang mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil wajib memiliki izin pengelolaan namun ketiadaan izin merupakan pelanggaran hukum administratif yang sanksinya berupa teguran, penghentian kegiatan bukan sanksi pemidanaan.

Kelima, pengambilan donasi merupakan Peristiwa Perdata, ahli yang dihadirkan Dr. Elfrida Gultom, S.H menyatakan, pungutan yang dilakukan masyarakat merupakan peristiwa perdata. Artinya ada kesepakatan diantara kedua belah pihak dan selama bentuknya bukan paksaan. Jadi, dengan adanya kesepakatan untuk “memberi” dan “menerima”, maka bukan peristiwa pidana.

Berdasarkan kelima fakta ini, kata Tigor, penasihat hukum meminta agar majelis hakim yang terdiri dari H Agusti SH. M.Hum, (hakim ketua) Pinta Uli Br Tarigan, S.H, M.H (Hakim Anggota) dan Tugiyanto BC, IP S.H M.H membebaskan Mastono alias Baok, Bahrudin Alias Edo, Mustaqfirin alias Boby dari penjara. “Mereka tidak terbukti melakukan tindak pidana pungli,” pungkas Tigor. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.