Oxfam: Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Perempuan Selamanya

Lelaki ikut mendukung gerakan menghentikan kekerasan terhadap perempuan (dok. oxfam)
Lelaki ikut mendukung gerakan menghentikan kekerasan terhadap perempuan (dok. oxfam)

Jakarta, Villagerspost.com – Ketidakadilan gender adalah sebuah penyebab sekaligus konsekuensi dari terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Karena itu, Oxfam meluncurkan kampanye global terbaru bertajuk “Enough: Together We Can End Violence Against Women and Girls”. Lewat kampanye ini, Oxfam ingin menghentikan pelanggaran hak asasi manusia paling sering terjadi ini.

Seperti diketahui, sepertiga perempuan dunia akan mengalami kekerasan pada beberapa titik dalam hidupnya. Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan tidak mengenal batas geografi atau budaya, sehingga ia menjadi krisis global. Sementara, kaum perempuan marjinal termasuk perempuan dan anak perempuan miskin menjadi pihak paling rentan atas kekerasan.

Oxfam International’s Executive Director Winnie Byanyima mengatakan, setiap menit, setiap hari, kekerasan menghancurkan hidup jutaan perempuan dan anak perempuan di dunia. “Kekerasan membuat perempuan dan anak perempuan tetap tinggal dalam kemiskinan dan perempuan serta anak perempuan miskin menjadi yang paling rentan mengalami kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan terjadi di seluruh dunia, ini adalah lingkaran yang kejam, tetapi dapat diputus. Cukup adalah cukup,” kata Byanyima dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Kamis (24/11).

Untuk mengakiri praktik-praktik kejam ini, Oxfam meluncurkan kampanye Stop Kekerasan terhada Perempuan dan Anak Perempuan di Maroko, Indonesia, Pakistan, Guatemala, Afrika Selatan dan Zambia, bertepatan dengan dengan Hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional yang diinisasi PBB Lebih dari 30 negara akan bergabung dengan kampanye Oxfam, memobilisasi masyarakat dan para pengambil kebijakan untuk menentang diskriminasi yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan atas perempuan dan anak perempuan.

“Di Maroko, banyak sekali jenis kekerasan terhadap perempuan seperti kekerasan fisik psikologis, ekonomi, dan hukum khususnya dalam kasus perceraian,” kata Saida, warga Maroko kepa Oxfam.

Dia sendiri bercerai karena dipaksa suami karena tak menyetujui suaminya menikah lagi. Saya dan anak perempuan saya dipaksa meninggalkan rumah yang memang dimiliki oleh suami saya, tak ada seorang pun baik hakim maupun pengacara membela saya,” kata Saida lagi.

Kini Saida tengah mengikuti workshop terkait keterampilan hidup bersama Oxfam agar bisa mencari penghidupan untuk dirinya dan anak perempuannya. Saat ini dia juga menjadi penasihat kaum perempuan Maroko untuk merebut kembali hak-hak mereka.

“Anak perempuan menghadapi perjuangan berat dalam setiap fase kehidupan mereka. Anak perempuan tidak diizinkan sekolah seperti anak laki-laki,” kata Komal, anak perempuan berusia 12 tahun dari Uttar Pradesh, India.

Data pemerintah India tahun 2015 menyebutkan, kawasan Uttar Pradesh, mencatat angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tertinggi secara nasional dan 40 persen kaum perempuan di wilayah itu buta huruf. Sampai beberapa tahun lalu, anak perempuan sering kali harus keluar dari sekolah untuk menjaga saudaranya, membantu orang tua di pertanian atau melakukan tugas rumah tangga.

Melalui kerja Oxfam, perempuan Uttar Pradesh, kini bisa bersekolah, mereka bahkan bisa berlatih olahraga keras seperti gulat. “Dengan dukungan guru dan orang tua, saya bisa berkompetisi dan memenangi medali perak dalam kompetisi negara bagian,” kata Komal.

Di Indonesia, pernikahan anak dan kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi. Cheper, yang menikahi gadis di bawah umur, sekarang berkampanye untuk mengakhiri pernikahan anak dan kekerasan terhadap perempuan di komunitasnya. “Saya tumbuh melihat ibu saya kerap dipukuli oleh ayah saya, saya ingin mengadukan ayah saya ke polisi karena dia menyakiti ibu saya, tetapi tidak saya lakukan, masyarakat saya menganggap itu hal biasa,” katanya.

Dalam konteks luas, perempuan misalnya sering kali dikecualikan dari rapat-rapat desa. Tetapi dengan kerja keras Cheper, hal ini mulai berubah, sebagaimana istri Cheper juga berencana bekerja di luar rumah.

Sama dengan di Guatemala, perempuan penduduk asli menghadapi kekerasan dan rasisme, sekarang mereka berjuang menghapus akar kekerasan. Maria Morales Jorge, yang menjadi bagian terbentuknya Institute for the Defence of Indigenous Women, mengatakan, semua punya kesempatan untuk mengubah dan menolak segala bentuk kekerasan dan penindasan. “Kita semua punya kesempatan untuk bahagia,” ujarnya.

Kampany Oxfam bertujuan untuk menantang dan menggatikan kesalahpahaman yang telah lama berlaku bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan dan anak perempuan. Oxfam mendukung individu dan masyarakat untuk mengerti penyebab kekerasan dan membangungan kapasitas untuk berkata “cukup” pada sikap dan kebiasaan yang menyakiti perempuan dan anak perempuan.

Oxfam juga akan bekerja untuk memastikan organisasi dan gerakan hak-hak perempuan yang didukung, dan untuk meningkatkan dan melaksanakan hukum dan kebijakan yang bertujuan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.

“Organisasi dan gerakan hak-hak perempuan telah lama menantang penerimaan dan prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, tapi karena begitu tidak adil mendarah daging dalam masyarakat di seluruh dunia, kita harus mengambil tindakan lebih dari itu. Oxfam berkomitmen untuk mengakhiri krisis ini sekali dan untuk semua, untuk kepentingan semua orang, seperti hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia,” tegas Byanyima.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.