Pahlawan Pangan itu Bernama Perempuan Nelayan
|
Jakarta, Villagerspost.com – Perempuan nelayan adalah pahlawan pangan. Dalam studi yang dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) ditemukan fakta, pangan laut dan protein ikan yang sangat berlimpah di perairan Indonesia dihadirkan oleh perempuan nelayan ke meja makan seluruh keluarga di negeri ini.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyatakan, perempuan nelayan yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terus bekerja menghadirkan pangan laut guna mencerdaskan masyarakat. “Perempuan nelayan di 10.666 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota di Indonesia berkontribusi besar dalam pemenuhan kebutuhan protein ikan. Oleh karena itu, keberadaan mereka sangat strategis bagi keberlanjutan generasi bangsa ini,” kata Susan dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (11/9).
Seperti diketahui, luas wilayah Indonesia mencapai 5,8 juta km2 dengan luas perairan Indonesia mencapai 2/3 luas keseluruhan wilayah Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Perikanan Negara RI dan Laporan Status Tingkat Eksploitasi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI, perairan Indonesia diperkirakan memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap sebanyak 6,5 juta ton pertahun, yang dapat dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4,4 juta ton dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton dapat diperoleh dari perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI).
Perempuan nelayan adalah pihak yang ikut serta mengelola kekayaan laut tersebut dengan menghadapi berbagai tantangan dan risiko yang sama dengan nelayan lelaki, namun ironisnya peran itu hingga kini tak diakui negara. Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Masnuah mengungkapkan, perempuan nelayan adalah pejuang tangguh.
“Perempuan nelayan berkontribusi luar biasa kepada kebutuhan pemenuhan pangan bangsa ini. Beban yang ditanggung pun luar biasa, perempuan nelayan harus bekerja selama 17 jam perhari untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan dan kebutuhan protein bangsa,” tuturnya.
Ironinya, peran startegis perempuan nelayan terancam dengan adanya perampasan ruang hidup mereka. Misalnya, kasus ekspasi perkebunan sawit di wilayah pesisir Langkat Sumatera Utara, reklamasi di Teluk Jakarta, Bali, Semarang serta Manado, pertambangan pasir besi di Jawa Tengah, ekspansi pariwisata di NTB dan NTT, dan
ekspansi konsesi tambang di wilayah pesisir Indonesia Timur. “Semua itu ancaman nyata bagi masa depan pangan laut kita di Indonesia. saatnya negara turun tangan menghentikan semua itu,” tegas Masnuah.
Menurut Masnuah, tak ada pilihan lain bagi pemerintah selain berdiri bersama perempuan nelayan menyelamatkan kedaulatan pangan laut di Indonesia. “Kita harus berdaulat atas pangan laut kita,” pungkasnya. (*)