Pakar IPB: HET Beras Premium Rp9.500 Per Kilogram Tak Masuk Akal

Gudang beras premium (dok. kementerian pertanian)

Jakarta, Villagerspost.com – Pakar ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. M Firdaus menilai, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp9.500 per kilogram tak masuk akal. Menurutnya, angka ini mustahil diterapkan karena, harga pembelian dari produsen minimun Rp7.000 per kilogram. “Maka tidak mungkin beras premium sampai di konsumen melalui supermarket dengan harga Rp9000-an,” ujar Firdaus dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Kamis (27/7).

Menurut Firdaus, harga yang masuk akal adalah di angka Rp12.000-Rp15.000 per kilogram. “Hitung-hitungan untuk kembali pokok, harga itu harus Rp12 ribuan. Kalau pedagang atau supermarket mau ambil untung itu minimum Rp15 ribuan. Pedagang beli di petani beras sebesar Rp7.500, lalu ada proses pengangkutan ke gudang, kemudian diolah, mungkin semacam pembersihan,” ujarnya.

Firdaus menegaskan, pengolahan pada beras tidak banyak, karena tidak mengalami perubahan fisik. “Ya paling pencampuran, pengemasan dan packaging. Hanya itu. Biaya pengangkutan hingga pengemasan itu tidak mungkin hanya Rp2 ribuan,” ujarnya.

Dia menjelaskan, jika untuk beras yang levelnya premium apalagi dibeli di supermarket, ada yang namanya listing fee 30 persen. Maka harga beli di produsen dan supermarket itu mengalami kenaikan dua kali lipat. Biasanya 30 persen biaya, untungnya 70 persen dibagi dua untuk supermarket dan distributor.

“Nah kalau Rp7 ribu ke Rp9 ribu, apakah itu mungkin? Selain itu, kalau ini kita terapkan ke beras, karena mendapatkan subsidi dari pemerintah, lalu bagaimana dengan produk yang lain? Logikanya nya begitu. Apakah kalkulasi HET itu sudah benar apa belum. HET untuk beras medium masih oke, tapi kalau beras premium tidak mungkin,” terangnya.

Menanggapi kasus penggerebekan pabrik beras di Bekasi, Firdaus mengatakan, duduk persoalan kisruh beras premium jika dilihat dari sisi pemerintah adalah adanya keinginan dari pemerintah supaya harga beras tidak mahal di tingkat konsumen. “Kita tahu bahwa penyumbang inflasi terbesar itu masih beras,” ujarnya.

Lebih lanjut Wakil Dekan FEM IPB ini mengatkan, persoalan jadi menarik kalau lihat dari sisi ekonomi dan bisnis yakni adanya perdagangan beras yang dibisniskan. Tentu bisnis tujuannya adalah mencari untung. Salah satunya dengan melakukan pengolahan, misalnya beli beras dari petani kemudian diolah dan dijual ke supermarket hingga sampailah beras ke konsumen.

Dikatakannya, pedagang membeli beras dengan harga yang lebih mahal dari harga yang diberikan oleh pemerintah melalui Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Mereka kemudian melakukan pengolahan dan menjualnya kembali dengan harga yang relatif sangat tinggi yakni dengan nama beras premium.

Menurutnya, pemerintah menilai pedagang membeli produk dari petani yang disubsidi oleh pemerintah (subsidi pemerintah sebesar 30 trilyun per tahun), sehingga seakan-akan pengusaha atau pedagang melakukan tindakan atau mengambil keuntungan di luar kewajaran. Seharusnya pedagang menjual produknya tidak terlalu mahal sesuai keinginan pemerintah.

“Pemerintah mempertanyakan apakah harus sebesar itu keuntungan pedagang (dengan hitung-hitungannya pemerintah). Beli beras kemudian ditreatment (sederhana) lalu dijualnya mahal. Ini kan pokok persoalannya,” ujarnya.

Firdaus juga memaparkan tentang riset yang sudah dilakukannya sejak tahun 1998 tentang karakteristik beras di 22 pasar eceran di Jakarta (hingga pasar induk Cipinang). Beras pandan wangi yang dijual di pasar sebetulnya bukan beras pandan wangi 100 persen, tetapi hanya 40 persen. Risetnya di Cianjur juga mengungkapkan bahwa semua penggilingan tidak ada yang menjual beras padan wangi 100 persen, karena harganya bisa mencapai Rp40 ribu per kilogram.

“Tidak mungkin harga beras pandan wangi Rp15-20 ribu. Itu mungkin kandungan beras pandan wanginya sekitar 20-30 persen. Sisanya mungkin beras Ciherang, karena paling mirip. Tanya pedagang di sana (Pasar Induk Cipinang) itu yang terjadi,” ujarnya.

Menurutnya, ini bukan sebuah kebohongan, karena beras tidak mengalami perubahan bentuk. Contohnya bubuk kopi. Saat dijual eceran oleh petani harganya mungkin hanya Rp 3 ribu per kilogram, tapi saat sudah dijual di Starbuck harganya naik tajam. “Apakah bentuk kopinya beda? Apakah ada pembohongan, kan tidak,” ujarnya.

Konsumen beras pun sama. Konsumen hanya perlu jaminan keamanan produk. “Mereka mau beli dengan harga mahal karena ada persepsi bahwa beras itu tidak dicampur beras plastik, tidak menggunakan pemutih dan bahan kimia lainnya. Ini makanya konsumen mau membayar mahal.” ujarnya.

Beras premium menggunakan kemasan yang bagus dan ada semacam jaminan tidak lagsung. “Apakah ini pembohongan kepada konsumen? Kalau menurut saya ini bukan pembohongan. Konsumen membayar kualitas, baik fisik maupun karena jaminan informasi. Diolah dengan baik, tidak pecah, tidak pakai pemutih dan dikemas dengan baik. Ya jadilah dia beras premium,” terangnya.

Subsidi Harga

Terkait subsidi, Firdaus mempertanyakan apakah petani padi itu sudah sejahtera dengan subsidi itu. Pemerintah berasumsi sudah memberikan subsidi ke petani padahal efektifitas subsidi tersebut dipertanyakan. Dari berbagai riset tentang keefektifan subsidi, hasil penelitian Firdaus dengan bank dunia, dana subsidi yang sampai ke petani itu hanya 40 persen. “Apakah tidak ada cara lain untuk sejahterakan petani? Ada,” tegasnya.

Pengalaman di Thailand dan Vietnam, kedua negara ini tidak melakukan subsidi input tetapi subsidi harga. Kalau petani Indonesia ingin targetnya petani sejahtera, mereka tidak bisa jual beras dengan harga Rp3.700, tapi dengan harga Rp5.000. Namun, kalau petani jual di harga Rp5.000-an, maka harga beras medium di pasaran tidak bisa Rp9.500. Maka kalau kita tetap beli di petani Rp3.700, supaya harga beras medium di pasar Rp9.000, maka petani disubsidi oleh pemerintah sebesar Rp1.300 (subsidi output).

“Maka di Thailand harga berasnya bisa mencapai Rp6 ribuan untuk beras medium, beras premiumnya Rp10 ribuan. Kita lebih banyak main di subsidi input (Rp30 triliun per tahun) untuk subsidi pupuk yang efektifitasnya bisa jadi tidak tinggi. Ini yang ke depan harus dipikirkan,” ujarnya.

Dari sisi ekonomi, pemerintah tidak lagi menerapkan harga dasar tetapi menggunakan HPP. Harga dasar itu kalau petani panen raya, pemerintah wajib membeli dengan harga dasar sehingga harga di petani terjamin atau tidak turun dan fungsi Bulog signifikan. Sementara HPP adalah acuan bahwa pembelian gabah di petani harus di atas HPP, pemerintah tidak ada kewajiban untuk membeli.

“Ini yang harus didorong peran Bulog. Bulog harus dioptimalkan dan diberi keleluasaan. Undang-undang atau konsep tentang Badan Pangan Nasional (BPN) yang saat ini ada di meja Presiden harus segera disahkan. Badan pangan yang levelnya bisa mengkoordinir sampai ke level kementerian,” tambahnya.

“Selain itu, pemerintah seharusnya diskusi dulu di Kementerian Perdagangan (Kemendag). Bagaimana Kemendag menyikapinya. Tidak adil jika berlaku hanya untuk beras. Subsidi sebesar 30 trilyun itu untuk hortikultura, sapi, kentang bahkan cabai. Apakah semua harus diperlakukan sama? Pemerintah harus konsisten dong. Benar atau tidak pedagang mengambil untung, yang tidak wajar ya harus dibuktikan di pengadilan KKPU,” tandasnya.

Solusinya adalah jika pemerintah konsisten ingin sejahterakan petani maka pertimbangkan kembali mekanisme subsidi, efektifitasnya, cara atau metodenya. Kedua, pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan HPP.

“HPP itu tidak ada konsekuensi apa-apa ke petani. Harus kembali ke harga dasar dan harga atap. Ketiga, kita tahu bahwa dengan kondisi petani yang skalanya kecil-kecil kemudian menanam padi, sekarang korbannya banyak sekali, maka fungsi lembaga tetap harus ada, apakah BPN ataukah Bulog. Harus maksimal. Kalau Bulog maka harus diberi keleluasan dan kewenangan,” katanya. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.