Paksakan Reklamasi, Pemerintah Kembali Langgar Hukum

Masyarakat sipil dan nelayan menolak diteruskannya proyek reklamasi Teluk Jakarta (dok. change.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menyatakan keberatan terhadap sikap pemerintah yang memaksakan untuk menjalankan kembali proyek reklamasi dengan rekayasa “penyesuaian” perizinan tanpa melalui proses dan pengkajian yang substansial dan benar. Pihak Koalisi menilai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat seperti Menteri Koordinator Kemaritiman (Menkomaritim), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk kesekian kalinya melanggar berbagai hukum untuk meneruskan proyek reklamasi Jakarta.

“Ada beberapa cara yang dilakukan, misalnya dengan melakukan pembahasan sejumlah keputusan tanpa pelibatan seluruh pemangku hak asasi yang akan terdampak oleh proyek reklamasi Jakarta,” kata Nelson Simamora dari LBH Jakarta dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Senin )8/5)

Beberapa keputusan tersebut seperti: Perpanjangan sanksi moratorium secara diam-diam, perubahan dokumen dan perizinan Lingkungan, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sengaja tidak melibatkan publik yang kritis, semuanya dilakukan tanpa transparasi dan partisipasi. Melihat kebelakang, sejak April 2016, Menkomaritim menyatakan reklamasi Teluk Jakarta dihentikan.

Sebagai tindak lanjut moratorium tersebut, MenLHK menerbitkan tiga surat keputusan tepat 1 tahun yang lalu pada tanggal 10 Mei 2016. Dalam tiga keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan tenggat waktu 120 (seratus dua puluh hari) hari sejak diterbitkannya keputusan tersebut.

“Namun ternyata masa tenggat itu telah diperpanjang dua kali secara diam-diam tanpa pernah diketahui masyarakat termasuk oleh Koalisi yang harus terlebih dahulu meminta informasi publik,” kata Nelson.

Padahal jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sanksi administratif dapat ditingkatkan menjadi pencabutan Izin Lingkungan. “Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya mengelabui masyarakat untuk mengetahui masalah lingkungan hidup dan terus berupaya mengamankan proyek reklamasi,” tegasnya.

Hal senada juga disampaikan perwakilan nelayan dari Kesatuan Nelayan Tradisional (KNT) Iwan. Dia mengatakan, pemenuhan kewajiban dalam sanksi penghentian sementara tidak pernah terbuka kepada publik, termasuk perubahan dokumen dan perizinan lingkungan hidup. Masyarakat umum dan Koalisi khususnya komunitas nelayan tradisional tidak pernah dilibatkan dalam proses penegakan hukum.

“Yang ada konsultasi publik pada 30 Januari 2017 dibuat secara diam-diam tanpa diperbolehkan mengikutinya secara luas yang hanya dilakukan sekali tanpa ada proses pemberian informasi dengan benar,” kata Iwan.

Masyarakat mengetahui bocoran sosialisasi dari pihak warga yang masih berkomitmen menolak reklamasi. Salah satu yang terjadi adalah konsultasi publik yang tertutup sehingga tidak dapat dianggap telah ada konsultasi publik.

Selain itu konsultasi publik dilakukan malam hari dimana perempuan nelayan yang akan juga terdampak tidak dapat terlibat. “Saluran untuk keberatan tidak dibuka dengan luas dengan informasi melalui internet baik website dan sosial media tanpa memberikan ruang-ruang partisipasi yang lebih luas mengingat kerumitan kasus proyek reklamasi,” papar Iwan.

Sementara itu, Marthin Hadwinata dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan, Kajian Lingkungan Hidup Strategis juga dilakukan dengan sengaja tidak melibatkan publik yang kritis. Hal ini terungkap dari agenda konsultasi publik KLHS, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta pada Jumat, 10 Maret 2017 di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

“Sangat jelas Pemprov Jakarta menutupi partisiaspi publik dengan mengirim undangan dengan tidak patut dalam waktu kurang dari satu hari (hanya beberapa jam saja), tidak memberikan kerangka acuan, termasuk menutupi materi KLHS yang akan dikaji secara bersama termasuk ahli dan akademisi dan organisasi yang kritis terhadap proyek ini hanya dicatut namanya,” tegas Marthin.

Terlihat jelas KLHS ini bentuk partisipasi semu dan manipulasi yang dibuat hanya untuk memenuhi ketentuan prosedural. Selain itu Reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta adalah praktik buruk pada perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang di Jakarta. Dengan dikeluarkannya izin pelaksanaan reklamasi dan KLHS sesudah Pulau C dan D, serta sebagian Pulau G, menunjukkan buruknya kualitas Pemprov DKI Jakarta dalam penyelenggaraan pemerintan dan pengawasan pembangunan.

“Hingga saat ini, diatas lahan Pulau D telah berdiri bangunan ruko dan rumah tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan bahkan tanpa Peraturan Daerah Zonasi Kawasan Pantura Jakarta,” ujar Marthin.

Karena itulah pihak Koalisi mempertanyakan keterbukaan informasi dari Kementerian Koordinator Maritim, khususnya setelah perubahan kepemimpinan dari Rizal Ramli menjadi Luhut Pandjaitan dengan serampangan dan tidak konsisten karena melanjutkan reklamasi.

“Koalisi telah mengajukan informasi publik kepada institusi Menko Maritim yang menjadi penanggungjawab dari Tim Komite Gabungan ini untuk melakukan diskusi, rapat, kajian, telaahan, memberikan masukan, rekomendasi dan upaya-upaya lain dalam rangka penyelarasan aturan evaluasi syarat-syarat yang terkait dengan reklamasi serta melaksanakan audit terhadap proses pelaksanaanpembangunan masing-masing perizinan,” ujar Marthin.

Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah selesai bekerja terbukti dengan pernyataan yang menyatakan adanya pelanggaran berat dari salah satu pulau reklamasi dan menyampaikan laporan kepada Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya. “Namun hingga detik ini, tidak ada keterbukaan dari Menkomaritim untuk membuka kajian dan data terkait hasil Komite Gabungan dan informasi dari proyek reklamasi Teluk Jakarta,” pungkas Marthin.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.