Pandemi Covid-19 Hidup Keluarga Nelayan Indonesia Semakin Rentan

Potret kemiskinan kampung nelayan (dok. kiara)

Jakarta, Villagerspost.com – Ancaman pandemi Covid-19 dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tak terkecuali keluarga nelayan yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia serta masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya perikanan. “Masih minimnya perlindungan dari negara, keluarga nelayan dan pelaku sektor perikanan rakyat lainnya kini menjadi kelompok yang paling rentan menghadapi persebaran Covid-19 di Indonesia,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Rabu (1/4).

Karenanya pemerintah diharapkan untuk segera memberikan perhatian kepada keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat lainnya yang rentan terdampak penyebaran Covid-19. “Pemerintah wajib mengalokasikan dana perlindungan khusus untuk keluarga nelayan yang pendapatannya menurun akibat penyebaran Covid-19,” tegas Susan.

Tak hanya itu, Susan mendesak pemerintah untuk menunda pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2020 yang akan diselenggarakan di 270 daerah di Indonesia, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. “Anggaran Pilkada serentak 2020 di 270 daerah sebesar Rp9,9 triliun harus dialihkan untuk dana perlindungan khusus keluarga nelayan dan pelaku perikanan lainnya di Indonesia,” ujarnya.

Lebih jauh, KIARA mendesak Pemerintah untuk segera melakukan penyemprotan disinfektan di desa-desa pesisir demi mencegah penyebaran Covid-19 semakin meluas. “Kami mencatat, setidaknya ada 12.827 desa pesisir di Indonesia, tempat tinggal nelayan yang harus segera mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam menangani penyebaran Covid-19,” ujar Susan.

Susan menjelaskan, setidaknya dua dampak yang harus ditanggung oleh keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat akibat penyebaran Covid-19. Pertama, tertular Covid-19 dengan cepat dan kedua, lumpuhnya kehidupan ekonomi dalam bentuk menurunnya pendapatan karena terputusnya rantai dagang (supply chain) ikan dari nelayan sebagai produsen kepada masyarakat luas sebagai konsumen. “Dua ancaman ini harus dihadapi oleh keluarga nelayan di Indonesia,” tambahnya.

Berbagai fakta di lapangan menunjukkan, banyak keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat di Indonesia telah merasakan dampak buruk persebaran Covid-19. Di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, nelayan terpaksa harus menjual hasil tangkapan mereka kepada masyarakat dengan harga yang sangat murah atau turun lebih dari 50 persen dari harga biasanya. Hal ini terjadi karena banyak pabrik pengolahan yang ditutup demi mengikuti anjuran pemerintah dalam rangka mencegah penularan Covid-19.

Sugeng Trianto, salah seorang nelayan di Kendal menyatakan, harga ikan biasanya dibeli oleh pabrik berkisar Rp40.000/kg, kini dijual kepada masyarakat umum hanya berkisar Rp15.000 sampai dengan Rp20.000/kg. Tak hanya itu, produk olahan kelompok nelayan, berupa keripik kerang yang normalnya seharga Rp15.000 kini hanya dijual Rp5000/bungkus. Kondisi ini semakin memperpanjang kesulitan yang dialami nelayan. Sebelumnya, nelayan di Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Kendal baru, saja melewati musim paceklik.

“Situasi semakin sulit dengan meningkatnya harga sembako yang dijual di pasar. Harga-harga kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan. Sementara pendapatan nelayan terus turun pasca massifnya penyebaran Covid-19,” tutur Sugeng.

Hal serupa terjadi di Muara Angke, Jakarta. Setelah ditetapkan sebagai episentrum Covid-19, tempat pelelangan ikan (TPI) di Muara Angke sepi dan akan ditutup sampai dengan waktu yang belum diketahui waktunya. Akibatnya, banyak nelayan di kawasan ini memutuskan untuk tidak melaut.

Menurut Rois, nelayan Muara Angke, apa yang terjadi saat ini semakin menyulitkan kehidupan nelayan, ditambah lagi dengan meningkatnya harga sembako yang dijual di pasar setelah masifnya penyebaran Covid-19 di DKI Jakarta. Kondisi nelayan Muara Angke semakin sulit mendapatkan supply logistik harian.

“Kami harus menghitung perbedaan pemasukan dan pengeluaran yang sangat besar. Jika kami memaksakan diri untuk melaut, lebih banyak pengeluarannya daripada pemasukan dari menjual ikan. Harga ikan saat ini benar-benar jatuh. Kehidupan nelayan semakin sulit,” ungkap Rois.

Dampak penyebaran Covid-19 juga dirasakan betul oleh kelompok nelayan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Setelah Jakarta ditetapkan sebagai episentrum Covid-19, pariwisata di Pulau Pari ditutup sampai batas waktu yang belum ditentukan. Perekonomian masyarakat yang tergantung kepada pariwisata laut mulai melemah. Karena supply pangan mereka sangat tergantung dari Jakarta, masyarakat semakin khawatir jika stok pangan utama mereka di Pulau Pari mulai menipis. Pada saat yang sama, penyebrangan perahu akan segara ditutup untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Terkait dengan harga ikan, Asmania, perempuan nelayan asal Pulau Pari, menyatakan, saat ini harga ikan menurun drastis. Ia menyebut harga cumi laut yang biasanya dijual Rp80.000, kini hanya Rp40.000 ribu. Sementara itu, harga cumi karang yang biasanya dijual Rp50.000 menjadi Rp20.000 saja.

“Hari ini banyak pengepul ikan yang menolak hasil tangkapan nelayan akibat ditutupnya TPI di Muara Angka. Bahkan, banyak ikan yang dikembalikan lagi ke nelayan karena ikannya tidak laku dijual,” kata Asmania.

Asmania menambahkan, hari ini masih terdapat beberapa nelayan yang masih mencari ikan di laut untuk dikeringkan dan dikonsumsi sendiri oleh keluarganya. Namun, sudah banyak nelayan yang benar-benar tidak bisa melaut karena minimnya pemasukan dan perbekalan yang mereka miliki.

Dampak penyebaran Covid-19 juga dirasakan oleh nelayan di Serdang Bedagai Sumatera Utara, khususnya pada terhadap wisata mangrove. Sutrisno, Ketua Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN) yang juga pendiri wisata mangrove di Serdang Bedagai, menjelaskan hari ini sekitar 90% pengunjung berkurang. Demi mendukung program social distancing yang diberlakukan oleh Pemerintah, dia menutup kawasan wisata mangrove, terhitung sejak dua pekan yang lalu sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Penutupan kawasan wisata ini berdampak kepada kehidupan nelayan dan pengelola wisata mangrove. Pendapatan menjadi menurun drastis.

Sutrisno menuturkan, mengenai harga ikan yang biasa diekspor, khususnya ke Korea Selatan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan. Harga gurita sekarang hanya Rp20.000 ribu/kg dan kepitingan atau rajungan sekitar Rp40.000/kg. “Sebelum menyebarnya Covid-19, harga gurita bisa mencapai Rp50.000/kg, sedangkan harga kepiting dan rajungan bisa mencapai Rp60.000–65.000/kg,” terangnya.

Menurut Sutrisno, saat ini, permasalahan yang muncul bukan pada aktivitas nelayan untuk melaut, tetapi daya beli masyarakat terhadap berbagai produk perikanan yang turun signifikan. Hal ini terjadi akibat banyaknya TPI yang ditutup dan minimnya pembeli yang keluar rumah untuk menjalankan social distancing.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.