Pemerintah Belum Cukup Melindungi Hutan dan Gambut

Lahan gambut yang terbakar di sebuah area konsesi gambut di Pangkalan Terap, Teluk Meranti, Pelalawan, Riau (dok. greenpeace/rony muharrman)

Jakarta, Villagerspost.com – Usaha pemerintah harus lebih keras dalam melindungi hutan dan lahan gambut. Sejauh ini, pemerintah memang telah memperpanjang moratorium hutan dan lahan gambut melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang penundaan dan penyempurnaan tata kelola pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut. Tapi perpanjang moratorium ini diragukan efektivitasnya.

Belum ada hasil evaluasi dari pelaksanaan moratorium sejak 2011 oleh pemerintah yang resmi diterbitkan untuk publik. Evaluasi datang dari sejumlah LSM yang menemukan setidaknya 2,7 juta hektare hutan primer dan gambut hilang selama kurun waktu 6 tahun pelaksanaannya.

“Keberadaan lahan gambut di Indonesia semakin terancam oleh kehadiran para pelaku industri. Oleh sebab itu, lahan gambut utuh yang tersisa harus dijaga,” kata Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia Annisa Rahmawati, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Selasa (12/9).

Salah satu yang harus dipertahankan adalah ekosistem gambut di Lansekap Sungai Putri, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Lansekap seluas 57.000 hektare itu menjadi salah satu lansekap gambut yang tersisa keutuhannya dan sedang terancam oleh aktivitas bisnis di sekellilingnya. Di Desa Sungai Besar, Kec. Matan Hilir Selatan, salah satu desa yang berada di sekitar lansekap ini, Tim Cegah Api kembali dibentuk dan dilatih bersama dengan masyarakat setempat berkoordinasi dengan Manggala Agni.

Mereka bersiaga dan siap untuk beraksi untuk menghadapi ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla). “Sebagai warga Ketapang, saya tergerak ikut dalam Tim Cegah Api untuk mengetahui bagaimana teknik memadamkan api dan mencegah kebakaran menyebar, serta melindungi tempat tinggal saya,” ujar Jane Yolanda, anggota Tim Cegah Api.

Ia tidak menginginkan, Ketapang ataupun Kalimantan kembali dilanda bencana kebakaran seperti 2015. Sebab, kerugian akibat kebakaran hutan tidak kecil.

“Kita tidak boleh melupakan korban akibat kebakaran lahan dan krisis asap yang selalu berulang, yakni puluhan orang yang meninggal dan ratusan ribu orang yang terpapar asap berbahaya. Hal ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia mereka, terutama hak mereka atas hidup dan atas lingkungan yang bersih dan sehat,” ujar Arimbi Heroepoetri, aktivis perempuan dan HAM dari debtWatch Indonesia.

“Pemerintah harus memastikan agar kejadian ini tidak berulang, hak-hak korban asap dipulihkan, termasuk memastikan tanggung jawab korporasi jika ada peran korporasi di dalam pelanggaran tersebut,” tegasnya.

Kerugian lainnya yakni hilangnya keanekaragaman hayati, salah satunya yaitu berkurangnya populasi satwa endemik. Seperti yang disebut dalam laporan Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) Orangutan Indonesia Tahun 2016 yang diluncurkan beberapa waktu lalu bahwa kepadatan populasi orangutan di daratan Kalimantan (termasuk Sabah dan Sarawak) menurun dari 0,45-0,76 individu/km2 (PHVA 2004) menjadi 0,13-0,47 individu/km2. Kerusakan habitat menjadi penyebab utama berkurangnya populasi orangutan.

Oleh sebab itu, akar permasalahan harus disasar, yaitu perbaikan tata kelola dalam melindungi hutan dan lahan gambut secara total. Pemerintah harus tegas terhadap masih maraknya praktik korupsi, lemahnya tata kelola sumber daya alam, minimnya keterbukaan informasi publik, dan lemahnya penegakan hukum.

“Hari ini, kami meluncurkan petisi perlindungan total terhadap hutan dan gambut yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, dengan harapan desakan masyarakat akan membuat pemerintah lebih tegas dalam melindungi gambut untuk mencegah krisis karhutla terulang kembali,” tutup Annisa. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.