Pemerintah Didesak Bentuk Tim Independen Investigasi Kasus Kebocoran Minyak Pertamina
|
Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Jaringan Advokasi Tambang (TAMBANG) mendesak pemerintah membentuk Tim Investigasi Independen untuk menyelidiki penyebab semburan minyak (blow out) bawah laut yang terjadi di anjungan YYA-1 Pertamina Offshore North West Java (ONWJ), saat dilakukan pengeboran minyak pada 12 Juli lalu. “Perumusan komposisi anggota tim harus memenuhi syarat-syarat independensi yang menjamin transparansi sepenuhnya dalam investigasi mulai dari pengumpulan data, pelaporan data dan informasi kunci yang harus dilaporkan kepada publik,” kata Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, di Jakarta, Senin (29/7).
Susan menyayangkan terjadinya pelibatan warga desa dan nelayan di desa-desa terdekat dari kejadian bencana industri dari kasus Blow out anjungan YYA-1 Pertamina, tanpa perlengkapan yang bisa dipertanggungjawabkan dari sisi medis. “Pengabaian syarat-syarat keselamatan nelayan yang dimobilisasi untuk mengumpulkan ceceran minyak mentah dengan tangan telanjang selama berhari-hari adalah bersifat menambah masalah baru yang sangat sulit untuk dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Karena itu, KIARA mendesak Pertamina juga memastikan pemeriksaan kesehatan dan evakuasi untuk anak dan perempuan yang merupakan kelompok rentan atas gangguan kesehatan yang diduga diakibatkan dari dampak pencemaran udara dan air (laut), akibat peristiwa ini. “Kami mempertanyakan ada tidaknya sebuah sistem inspeksi untuk memantau dan mengambil keputusan cepat dalam keadaan darurat, dibalik kasus anjungan YYA-1 Pertamina,” tegas Susan.
KIARA dan JATAM Nasional memberikan teguran keras pada Pemerintah dan Pertamina atas kelalaian dalam pengendalian kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia yang sudah terjadi untuk kesekian kalinya ini. Koordinator JATAM Nasional Merah Johansyah menyatakan, peristiwa blow out tersebut merupakan sebuah bencana industri.
Johan mengatakan, KIARA dan JATAM mencatat beberapa hal yang sangat ganjil dalam kasus YYA-1 Pertamina ONWJ sejak tanggal 12 Juli 2019 sampai hari ini, yaitu sebagai berikut. Pertama, Pertamina gagal menegakkan batas-batas wilayah berbahaya bagi warga, di daratan maupun perairan yang terdekat dari Anjungan YYA-1 Pertamina.
Kedua, Pertamina gagal memperkecil risiko keselamatan warga sekitar akibat keterpaparan pada Tar Balls (gumpalan minyak mentah), udara tercemar, dan konsumsi biota laut dari wilayah disekitar anjungan YYA-1 Pertamina. Ketiga, gagal mengevakuasi warga dari desa-desa terdekat, dengan akibat sampai dengan hari keempat belas setelah terjadinya semburan liar, warga harus bertahan 24 Jam sehari dalam keadaan sakit kepala, sesak nafas, gatal-gatal, kulit terasa panas, dan sebagainya yang merupakan gejala ikutan dari keterpaparan terhadap zat-zat berbahaya terutama di udara.
Keempat, alih-alih melakukan tindakan penanggulangan secara profesional dengan kontraktor berpengalaman dan punya lisensi untuk mengatasi kasus semacam itu, pihak operator dan regulator melakukan mobilisasi warga untuk melakukan pengumpulan minyak mentah tanpa memenuhi syarat keselamatan manusia.
Johan mengatakan, mengingat bencana tersebut belum teratasi sumbernya, dan setiap hari atau 24 jam sehari warga terdekat terus terpapar pada udara, air dan besar kemungkinan sumber-sumber protein hewani dari daratan dan perairan pesisir yang tercemar, maka KIARA dan JATAM Nasional mendesak Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengambil langkah-langkah darurat yang meskipun terlambat tapi harus dilakukan.
Tindakan-tindakan yang bersifat darurat dan harus dipantau secara bersama oleh publik termasuk langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, harus ada pemeriksaan udara ambien selama 24 jam (ambien atmosphere monitoring) di wilayah pesisir padat huni yang terdekat/terdampak dari Anjungan YYA-1 Pertamina. Kedua, harus ada pemeriksaan kadar kandungan hidrokarbon di berbagai kedalaman terutama di wilayah tangkap nelayan tradisional.
Ketiga, harus dilakukan tindakan untuk mengamankan warga di wilayah pesisir padat huni yang terdekat/terdampak dengan anjungan YYA-1 Pertamina dari keterpaparan lebih lanjut akibat bencana industri ini, termasuk kemungkinan evakuasi besar-besaran terutama untuk kelompok paling rentan termasuk bayi, anak-anak, perempuan dan warga lansia.
Keempat, sesegera mungkin dibentuk Posko Kesehatan di lapangan dengan prosedur pemeriksaan yang bisa dipertanggungjawabkan untuk memeriksa gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh keterpaparan pada zat-zat berbahaya, termasuk ada tidaknya senyawa kimia berbahaya (PAH-Polycyclic Aromatic Hydrocarbons) yang secara umum biasa ditemukan dalam daur hidup ekstraksi sampai dengan konsumsi produk hidrokarbon.
“Pertamina harus membuka kepada publik, buku log kegiatan harian dari pengeboran di Anjungan YYA-1 Pertamina sampai dengan saat terjadinya blow out,” papar Johan.
Di samping itu Pertamina harus melaporkan kepada publik rekaman harian setidaknya sejak 12 Juli 2019 terkait perluasan wilayah cemaran dipermukaan air, taksiran volume semburan minyak mentah bawah laut per hari sejak tanggal 12 Juli 2019 dan peta kandungan hidrokarbon diberbagai kedalaman wilayah tangkapan nelayan tradisional.
Pertamina juga harus melaporkan kandungan hidrokarbon pada tangkapan ikan maupun jenis-jenis tangkapan lain di semua TPI yang menerima ikan tangkapan dari wilayah cemaran. “Mengingat bahwa wilayah daratan pesisir yang terdekat dari titik anjungan YYA-1 Pertamina juga merupakan wilayah aquakultur (Pertambakan) penduduk, juga harus diperiksa ada tidaknya kandungan hidrokarbon pada ternak ikan di wilayah pertambakan,” papar Johan.
“Rekaman yang terus menerus diperbaharui tersebut secepat mungkin harus bisa diakses oleh publik dengan cara yang mudah, termasuk lewat kerja sama dengan media,” tegasnya.
Johan menegaskan, publik berhak mengetahui seluruh informasi tertulis yang harus bisa diakses, untuk mengetahui dan memantau seluruh aktivitas yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh segenap badan-badan pemerintah dan perusahaan untuk menghentikan sumber pencemaran. Publik juga berhak tahu informasi terkait upaya mengatasi akibat-akibat pencemaran sejak tanggal 12 Juli 2019, termasuk penyediaan dana yang cukup untuk menanggung seluruh biaya pemeriksaan dan penanganan gangguan kesehatan dari warga akibat blow out.
“Mengingat besarnya jumlah kegiatan serupa dengan risiko bencana yang setara atau lebih berat, pemerintah sesegera mungkin harus merumuskan dan menerapkan protokol baru yang mengatur secara lebih ketat, seluruh rangkaian proses eksplorasi dan eksploitasi mulai dari pencegahan kemungkinan blow out, dan penumpahan minyak mentah ke perairan atau daratan pesisir, sampai dengan penanggulangan terpadu dari pihak kontraktor dan pengawas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas,” pungkas Johan.
Editor: M. Agung Riyadi