Pemerintah Wajib Terapkan Denda dan Hukuman Berat agar Pelaku Tindak Pidana Perikanan Jera

Perahu Nelayan Tradisional (Dok. KIARA)
Perahu Nelayan Tradisional (Dok. KIARA)

Jakarta, Villagerspost.com – Upaya penenggelaman kapal yang santer dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo seharusnya bisa lebih maju dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan perikanan. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, sedikitnya terdapat 5.400 kapal asing bebas keluar masuk wilayah perairan Indonesia. “Fakta ini semestinya menjadi cerminan penegakan hukum yang tegas,” kata Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim kepada Villagerspost.com, Selasa (6/1).

Halim mengatakan, tindak pidana pencurian ikan selain illegal fishing seharusnya juga mendapat perhatian khusus dari pemerintah, seperti penegakan hukum terhadap tindak pidana unregulated dan unreported fishing. “Upaya lain yang juga mendesak adalah penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan yang merusak (destructive fishing) oleh pukat harimau yang umumnya dikenal dengan nama trawl,” ujarnya.

Hal itu, menurut Halim perlu ditekankan mengingat baru-baru ini Presiden Joko Widodo mengesahkan pembentukan Pengadilan Perikanan Ambon, Sorong dan Merauke melalui Kepres No. 6 Tahun 2014. Pengadilan perikanan itu dibentuk pada pengadilan-pengadilan negeri di kota-kota tersebut.

Pengadilan perikanan ini melengkapi 7 (tujuh) Pengadilan Perikanan yang telah dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual melalui UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang. Juga Pengadilan Negeri Ranai melalui Keppres No. 15 Tahun 2010.

Pengadilan Perikanan sebagaimana dimandatkan oleh UU Perikanan tidak hanya menyangkut pencurian ikan dengan modus illegal fishing, tetapi termasuk juga unregulated (tidak diatur) dan unreported fishing (tidak dilaporkan). “Selain itu sebagaimana dijelaskan di atas, juga termasuk tindak pidana perikanan yang merusak (destructive fishing),” kata Halim.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Advokasi Hukum dan Advokasi KIARA Marthin Hadiwinata mengatakan, Dalam UU Perikanan, setidaknya terdapat 15 tindak pidana dalam bidang perikanan. Ke-15 tindak pidana itu adalah: penangkapan ikan tanpa izin, dokumen tidak lengkap, dokumen palsu, dan alat tangkap terlarang.

Selain itu ada pula tindak pidana seperti pelanggaran wilayah perikanan (fishing ground), alat tangkap tidak sesuai izin (SIPI), tidak ada transmiter (vessel monitoring system) dan pengangkutan ikan (transhipment). Juga ada pidana lain semisal menampung ikan tidak sesuai SIKPI, pencurian terumbu karang, menggunakan bahan kimia/biologis/peledak atau bom (destructive fishing), serta tidak memiliki SLO (Surat Laik Operasi).

“Ada juga pidana bongkar muat tidak sesuai SIPI, ABK/nakhoda asing tidak sesuai SIPI, dan penangkapan ikan di daerah abu-abu yang belum ditetapkan peruntukannya (grey area),” ujar Marthin.

Karena itu, kata Marthin, upaya penegakan hukum tindak pidana perikanan seharusnya tidak berhenti kepada pelaku di lapangan tetapi juga menyangkut kepada pemilik modal. Dilihat dari definisi orang yang dimaksud di dalam UU Perikanan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

“Upaya penegakan hukum pidana perikanan harusnya lebih maju dari menimbulkan efek jera, tetapi juga memberikan sanksi ganti rugi yang efektif untuk memulihkan sumber daya perikanan melalui ganti kerusakan sumber daya ikan,” ujar Marthin. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.