Pemerintahan Jokowi Jilid I Gagal Tuntaskan Konflik Agraria dan Redistribusi Tanah

Penggusuran untuk kawasan pariwisata di Yogyakarta (dok konsorsium pembaruan agraria)

Jakarta, Villagerspost.com – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, pemerintahan Joko Widodo jilid I, telah gagal menyelesaikan masalah konflik agraria dan redistribusi tanah. Indikasi kegagalan itu bisa dilihat dari jumlah konflik agraria yang justru semakin membengkak. Periode 2015–2018, KPA mencatat terjadi 1.769 letusan konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia. Angka ini naik dibanding periode 2010–2014 pada masa pemerintahan SBY dengan jumlah 1.308.

“Tingginya angka tersebut akibat pemerintah tidak serius menjalankan reforma agraria,” kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Sabtu (26/10).

Indikasi lainnya adalah, hampir 700 ribu hektare wilayah konflik agraria struktural yang melibatkan sekitar 150 ribu kepala keluarga di 98 kabupaten dan 20 provinsi usulan masyarakat melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) berjalan di tempat, baik di Kementerian ATR/BPN maupun KLHK. Dari keseluruhan usulan dari bawah (bottom-up) tersebut, selama 5 tahun, baru 785 hektare yang diredistribusikan sesuai dengan tujuan reforma agraria.

Dewi Kartika mengingatkan, mandat rakyat di bidang agraria (hutan maupun non hutan) kepada Presiden Jokowi pada periode kedua akan semakin berat mengingat di periode pertama tidak ada upaya serius menjalankannya. Karenanya warisan krisis agraria semakin terakumulasi.

Indonesia masih belum lepas dari lima krisis agraria. Pertama, ketimpangan struktur agraria yang tajam. Kedua, maraknya konflik agraria struktural. Ketiga, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian. Empat, kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas. Kelima, kerusakan ekologi yang meluas akibat eksploitasi dan monopoli tanah oleh konsesi-konsesi besar.

KPA juga mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak gegabah menginstruksikan para menterinya permudah izin-izin investasi seperti disampaikan Mendagri terpilih, Tito Karnavian. Presiden Jokowi harus memahami bahwa tingginya letusan konflik dan ketimpangan agraria disebabkan oleh terbitnya izin-izin investasi perkebunan, tambang, pembangunan infrastruktur, perluasan wilayah industri dan bisnis, real estate, dan industri pariwisata di atas tanah-tanah masyarakat.

“Instruksi semacam ini, tanpa memahami akar masalah agraria, hanya akan memperparah eskalasi konflik, kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat yang mempertahankan tanahnya,” tegasnya.

Dewi menegaskan, tanpa menteri-menteri yang memiliki keberanian melakukan koreksi atas akar masalah agraria dan keberpihakan kepada rakyat mustahil reforma agraria dapat berjalan. “Jika tak ada perubahan fundamental yang dilakukan Presiden, KPA menilai agenda reforma agraria kembali akan jalan di tempat, mengulang kembali cara-cara lama, langkah bussiness as usual, tanpa terobosan hukum yang diperlukan RA yang genuine. Termasuk hambatan ego sektoral antar kementerian yang sudah akut,” paparnya.

Dalam menuntaskan masalah reforma agraria, Dewi mengatakan, selain Kementerian ATR/BPN dan KLHK, KPA juga melihat dalam lima tahun ke belakang tidak ada keberpihakan Kementerian Desa, Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN terhadap realisasi reforma agraria. Termasuk kepolisian dan TNI yang ikut memperparah situasi konflik agraria di lapangan, mengambil posisi membela perusahaan, vis a vis dengan rakyat, dan/atau melakukan kekerasan terhadap petani, masyarakat adat dan aktivis agraria.

Dengan situasi kabinet semacam ini, KPA mengingatkan kembali, reforma agraria tidak akan berjalan apabila masih di bawah kepemimpinan setingkat menteri. Ditambah personel menteri lama yang masih dipertahankan, yang tercatat tidak pro terhadap aspirasi rakyat yang menuntut reforma agraria.

“Oleh karenanya, komitmen Presiden Jokowi pada Hari Tani Nasional yang akan memimpin langsung agenda reforma agraria ke depan akan menentukan keseriusan pemerintah ke depan dalam memperkuat dan mengakui hak-hak konstitusi rakyat atas tanah dan wilayah hidupnya,” tegas Dewi Kartika.

KPA juga menuntut agar prioritas reforma agraria di bawah kepemimpinan Presiden ke depan diarahkan pada redistribusi tanah untuk rakyat, penyelesaian konflik agraria struktural seluruh sektor, dan penguatan produksi dan ekonomi kerakyatan. “Hentikan campur-aduk agenda reforma agraria dengan proyek sertifikasi tanah biasa (legalisasi aset) dan pola-pola kemitraan masa lalu, agar capaian reforma agraria dapat diukur dengan jelas ke depan,” pungkasnya.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.